PALU, FILESULAWESI.COM – Program Bus Trans Palu pernah menjadi harapan baru bagi warga Kota Palu. Sebuah kebijakan transportasi publik dengan skema Buy The Service (BTS) yang menjanjikan kenyamanan, efisiensi, dan pengurangan kemacetan. Namun, waktu menunjukkan kenyataan yang berbeda. Kini bus-bus itu berhenti beroperasi, halte-halte tampak kosong, dan publik bertanya-tanya ke mana arah kebijakan ini akan dibawa.
BACA JUGA: Reses di Huntap 1 Tondo, Irsan Satria Dorong Pembentukan Pansus Kawal Pascabencana
Pertanyaan yang paling mendasar bukan sekadar “mengapa bus berhenti jalan”, tetapi lebih jauh, bagaimana nasib keuangan daerah yang digunakan untuk membiayai layanan tersebut?
BACA JUGA: Majelis Taklim Datokarama Gelar Doa Bersama untuk Presiden Prabowo di Hari Santri
Skema Buy The Service dan Prinsip Akuntabilitas
Model BTS sejatinya adalah inovasi dari pemerintah pusat agar transportasi publik bisa berjalan tanpa harus membebani pemerintah daerah dengan investasi aset. Pemerintah hanya membayar jasa operator sesuai dengan kinerja—berdasarkan jumlah kilometer layanan atau frekuensi perjalanan.
Namun, ketika layanan berhenti, maka dasar pembayaran pun perlu dikaji ulang. Apakah anggaran masih terus dikucurkan meski roda tak lagi berputar? Pertanyaan seperti ini wajar muncul, sebab menyangkut prinsip efisiensi dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat.
Kebijakan publik yang baik bukan hanya tentang niat baik, tetapi juga tentang kepatuhan terhadap aturan dan asas manfaat. Dalam konteks hukum keuangan daerah, setiap pengeluaran wajib memiliki dasar hukum dan hasil nyata bagi masyarakat. Bila manfaat itu tidak lagi hadir, maka pembiayaan harus dihentikan sementara hingga evaluasi dilakukan.
Transparansi Adalah Kunci
Publik tidak menuntut keajaiban, tetapi meminta transparansi. Siapa operatornya? Bagaimana isi kontraknya? Apakah ada mekanisme evaluasi dan pelaporan kinerja? Transparansi bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan semua pihak bekerja sesuai aturan.
Dalam prinsip good governance, pengelolaan anggaran publik harus memenuhi tiga pilar utama: transparency, accountability, dan value for money. Setiap rupiah dari APBD harus menghasilkan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Jika tidak, maka potensi penyimpangan bukan hanya soal niat buruk, tetapi bisa muncul dari kelalaian administratif atau lemahnya pengawasan. Maka penting bagi Pemkot Palu dan DPRD untuk segera melakukan audit kinerja dan audit kepatuhan terhadap pelaksanaan program BTS ini.
Mencegah Lebih Baik Daripada Memperkarakan
Tulisan ini bukan untuk menuduh siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan agar evaluasi dilakukan secara terbuka dan profesional. Karena dalam praktik hukum administrasi dan tindak pidana korupsi, niat baik sekalipun bisa berujung masalah jika tata kelola tidak sesuai aturan.
Kita tentu tidak ingin ada pejabat atau pihak swasta yang terseret persoalan hukum hanya karena lemahnya sistem pengawasan. Maka langkah bijak adalah memperbaiki sistem, bukan mencari kambing hitam.
Belajar dari Kota Lain
Beberapa kota di Indonesia yang juga menerapkan skema BTS kini memilih menata ulang kebijakannya. Ada yang menghentikan sementara layanan untuk mengkaji rute, menyesuaikan anggaran, dan memperbaiki manajemen pengawasan. Langkah ini menunjukkan bahwa evaluasi bukan tanda kegagalan, melainkan bentuk tanggung jawab.
Kota Palu bisa mengambil contoh serupa. Audit terbuka akan melindungi semua pihak—pemerintah, operator, dan masyarakat—agar tidak ada ruang bagi spekulasi atau kecurigaan publik.
Penutup: Jangan Uang Rakyat Mengalir Sia-sia
Kritik publik terhadap Bus Trans Palu tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan siapa pun. Ia adalah panggilan hati agar uang rakyat tidak mengalir sia-sia. Bus boleh berhenti beroperasi, tetapi pengawasan dan kesadaran untuk memperbaiki kebijakan tidak boleh ikut berhenti.
Ketika roda sudah tak berputar, maka yang harus bergerak lebih dulu adalah niat untuk memperbaiki arah. Karena pada akhirnya, keadilan anggaran dan kejujuran kebijakan adalah bentuk nyata dari pelayanan publik yang sesungguhnya.(***)
Tentang Penulis:
Vebry Tri Haryadi adalah praktisi hukum, pemerhati kebijakan publik dan mantan jurnalis.