PALU, FILESULAWESI.COM – Masyarakat lingkar tambang Poboya menggelar aksi demonstrasi di depan kantor PT Citra Palu Minerals (CPM) pada Kamis, 4 Desember 2025.
Aksi yang diikuti ratusan warga tersebut bertujuan mendesak perusahaan melakukan penciutan lahan konsesi menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar dapat dikelola masyarakat melalui izin pertambangan rakyat (IPR).
Ratusan warga yang datang sejak pagi hari memenuhi halaman depan kantor PT CPM. Mereka membawa spanduk, poster, serta pengeras suara untuk menyampaikan aspirasi terkait pengelolaan tambang Poboya yang selama ini dianggap tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat lingkar tambang.
BACA JUGA: Gubernur Sambut Ustad Abdul Somad Jelang Peresmian Masjid Raya Baitul Khairaat Sulteng
Para demonstran menyebut kehadiran WPR penting untuk membuka akses ekonomi bagi warga yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup pada aktivitas pertambangan tradisional.
Koordinator lapangan, Kusnadi Paputungan, dalam orasinya menyampaikan kekecewaan yang selama ini dirasakan warga terhadap sikap PT CPM. Ia menilai perusahaan tidak memiliki itikad untuk mendengarkan maupun memenuhi tuntutan masyarakat.
“Memang sejak awal CPM seakan tidak pernah berniat untuk melaksanakan apa yang diinginkan masyarakat,” ujarnya dalam orasi yang disambut teriakan setuju dari para peserta aksi. Menurutnya, penciutan lahan konsesi menjadi langkah yang telah lama diminta warga, namun hingga kini tidak pernah ditanggapi secara serius oleh pihak perusahaan.
Kusnadi menegaskan bahwa masyarakat di lingkar tambang Poboya sudah terlalu lama berhadapan dengan berbagai keterbatasan akibat aturan ketat perusahaan dalam akses terhadap wilayah konsesi. Ia menyebut warga hanya ingin mendapatkan ruang yang adil untuk mengelola tambang melalui mekanisme yang sah, yakni izin pertambangan rakyat.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Adat Poboya, Herman, yang juga turut berorasi, menilai keberadaan PT CPM sejak awal operasi tidak memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh warga. Menurutnya, berbagai janji yang pernah disampaikan perusahaan tidak pernah terealisasi hingga kini.
“CPM hanya mau menguasai sendiri konsesi tambang di wilayah Poboya,” ujarnya.
Herman menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak historis sekaligus moral untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya yang berada di wilayah mereka. Ia juga menambahkan bahwa berbagai regulasi terkait WPR seharusnya memberikan ruang yang cukup bagi warga untuk mengelola tambang secara legal dan teratur.
Salah satu tokoh masyarakat Poboya, Sofyar, juga hadir dalam barisan demonstran dan menyampaikan ultimatum kepada PT CPM. Ia menegaskan bahwa warga memberikan batas waktu satu minggu bagi perusahaan untuk merespons tuntutan yang telah disampaikan.
“Satu minggu dari hari ini, kalau CPM tidak ada respon terkait tuntutan kami, akan ada aksi lanjutan supaya CPM diusir keluar dari Kota Palu,” tegasnya.
Menurutnya, warga tidak ingin konflik berkepanjangan, namun ketidakjelasan sikap perusahaan membuat kesabaran masyarakat semakin menipis. Ia berharap PT CPM segera memberikan jawaban resmi sehingga tidak ada eskalasi aksi di kemudian hari.
Sofyar menjelaskan bahwa masyarakat ingin menghindari ketegangan lebih lanjut, tetapi apabila aspirasi mereka terus diabaikan, maka warga siap melakukan aksi yang lebih besar.
Ia menyatakan bahwa masyarakat tidak menolak keberadaan perusahaan, tetapi menuntut pembagian ruang yang adil agar warga tidak semakin terpinggirkan dari tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Sayangnya, aksi yang berlangsung hingga siang hari itu tidak direspons oleh pihak manajemen PT CPM. Tidak ada satu pun jajaran direksi maupun petinggi perusahaan yang turun menemui para demonstran. Kondisi ini memperkuat kekecewaan warga yang telah berkali-kali menyampaikan aspirasi namun tidak pernah mendapat tanggapan konkret.
Para peserta aksi tetap berada di depan kantor perusahaan meski tidak ada perwakilan yang hadir. Mereka melanjutkan orasi dan menyuarakan tuntutan melalui pengeras suara, sambil berharap pihak perusahaan bersedia membuka dialog terbuka sebagaimana telah diminta sejak lama.
Ketiadaan respons membuat warga menilai PT CPM enggan memberikan kepastian terkait pengelolaan lahan konsesi dan potensi perubahan kebijakan yang memberikan ruang bagi WPR.
Aksi tersebut mendapat pengamanan ketat dari aparat Polresta Palu. Puluhan personel disiagakan untuk memastikan jalannya demonstrasi tetap tertib. Aparat terlihat menjaga agar tidak terjadi kericuhan antara warga dan pihak perusahaan.
Setelah beberapa jam menyampaikan tuntutan, para demonstran akhirnya membubarkan diri secara tertib. Namun mereka menegaskan bahwa aksi ini bukanlah yang terakhir.
Warga telah sepakat untuk kembali turun ke jalan apabila dalam waktu satu minggu ke depan PT CPM tidak memberikan jawaban resmi atas tuntutan penciutan lahan konsesi untuk dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat.
Bagi warga Poboya, perjuangan ini bukan hanya soal pengelolaan tambang, tetapi juga tentang hak memperoleh kesempatan ekonomi yang selama ini terhalang oleh kebijakan perusahaan.
Para tokoh masyarakat menyatakan bahwa aksi lanjutan akan dirancang lebih besar dan melibatkan lebih banyak elemen komunitas apabila tidak ada kepastian dari PT CPM.
Mereka berharap pihak pemerintah daerah juga dapat turun tangan untuk memfasilitasi dialog antara warga dan perusahaan agar ketegangan tidak terus berlarut.
Dengan berakhirnya aksi hari ini, masyarakat lingkar tambang Poboya kini menanti langkah berikutnya dari PT CPM. Bagi warga, respons perusahaan dalam sepekan ke depan akan menentukan arah perjuangan selanjutnya sekaligus menjadi penanda apakah aspirasi mereka benar-benar didengar.(***)






