Penulis: Muhd Nur SANGADJI
(Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Tadulako Palu)
PALU, FILESULAWESI.COM – Artikel ini telah ditulis pada bulan Desember 2023. Tapi, dengan kejadian Bencana Hidrometeorologi di Sumatra dan daerah lain di Indonesia saat ini. Saya merasa penting untuk ditampilkan ulang dengan sedikit diksi tambahan.
BACA JUGA: Reklamasi Pasca Tambang, Bagaimana Sebaiknya?
Ketika itu, datang kabar dari Morowali. Hampir ratusan orang meregang nyawa. Ada puluhan yang dipastikan wafat. Tungku smelter pengolahan nikel meledak.
BACA JUGA: Ketua HNSI Sulteng Kutuk Keras Perusakan Rompon Nelayan di Teluk Tomini
Pada Raker Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saya mengusulkan satu hal yang dianggap penting. Selaku ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), saya beri gagasan dan usulan tentang banyak hal. Rakornas yang yang diadakan pada Desember 2023 itu dihadiri anggota FKPT se-Indonesia.
Salah satu dari usulan itu adalah penetapan para perusak lingkungan sebagai teroris. Sebagian kawan kaget mendengarnya. Sebagian lagi tertawa kecil. Wajar saja karena hampir tidak terdengar pikiran liar ini di bidang lingkungan. Ternyata, Undang-Undang No 5 tahun 2018 tentang terorisme telah mencantumkan pasal ini secara terang benderang.
Pada ayat 6 Undang-Undang itu, disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau paling lama 20 tahun, pidana seumur hidup atau pidana mati.
Mengapa ini penting? Pembuat Undang-Undang ini pasti telah tahu bahwa bencana lingkungan yang timbul akibat kelalaian manusia (antropik), membawa korban yang tidak sedikit. Banjir, longsor dan polusi industri kerap membawa malapetaka.
Banjir dan longsor biasanya timbul dari aksi deforestasi tanpa kendali. Kebocoran gas beracun atau limbah (telling) dari pabrik sering mengancam kehidupan manusia dan biodata. Dan, aksi industri ekstraktif itu marak sekali terjadi di Indonesia.
Atas nama investasi, kita menutup mata pada akibat jangka pendek atau panjang dari pemberian izin pembukaan industri tersebut. Niat awal atau memang pura pura buka kebun, ternyata, tujuannya hanya ambil kayu. Memang, UU lingkungan hidup sudah mengaturnya. Tapi, label terorisme akan memberikan efek kecut yang efektif.
Mengapa label terorisme ini penting sesuai perintah undang-undang? Karena faktanya di lapangan, ada oknum yang dengan sengaja menista alam untuk mengeruk untung. Sejak awal, niatnya adalah mengeruk untung semata. Membangun industri tanpa izin lingkungan atau mengabaikan anjuran mitigasi. Banyak terungkap setelah korban berjatuhan.
Ada juga yang membuka tambang atau perkebunan besar lalu membabat hutan serampangan. Sedimentasi dan buangan limbah (telling) mencemari sungai, danau dan laut. Membunuh biota perairan. Menghancurkan sawah ladang. Mematikan ruang nafkah warga masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam secara deterministik.
Pencemaran di darat, sungai, danau dan di laut sudah terjadi di mana-mana. Sedimentasi yang membunuh terumbu karang dan biota perairan tersebut, juga marak diberitakan. Industri pertambangan, kehutanan dan perkebunan menjadi sebab. Tapi, penegakan hukum kurang memadai. Ramai mengetahui siapa individu di belakang. Tapi, tidak berdaya menghalangi. Teriakan derita warga di seputaran proyek terdengar sayup lalu menghilang begitu saja. Sampai datang bencana baru, lalu semua kaget.
Ketika artikel ini ditulis, datang kabar dari Morowali. Hampir ratusan orang meregang nyawa. Tungku smelter pengolahan nikel meledak. Khabarnya, kejadian ini sudah berulang. Itu artinya, ada dua faktor menyertai yaitu human error dan manajemen keselamatan kerja.
Jumlah korban cukup banyak. Trend Asia mencatat pemberitaan yang tayang di media dalam rentang 2015-2022, menunjukkan 53 pekerja smelter meninggal.
Jumlah tersebut terdiri atas 40 pekerja Indonesia dan 13 WNA China di smelter nikel seluruh Indonesia, termasuk PT IMIP di Morowali. Dan, untuk Morowali sendiri di tahun 2023 saja sudah puluhan korban jiwa. Belum termasuk yang luka berat. Bandingkan sekarang dengan ribuan yang wafat di Sumatra dan lainnya.
Lantas, kita bertanya? Bagaimana prosedur operasi dan perizinannya (safe guard). Adakah Analisis lingkungannya? Siapa yang membuatnya..? Bagaimana kualitas dokumennya? Adakah uraian Rencana Kelola Lingkungan (RKL) berkaitan dengan komponen kegiatan yang beresiko tinggi ini..? Bagaimana dengan Rencana Pemantauan Lingkungannya (RPL)? Penting, karena korban telah banyak berjatuhan. Jumlahnya relatif sama atau bahkan lebih banyak dari akibat Aksi Terorisme konvensional.
Mungkin itu alasannya, mengapa Undang-Undang Terorisme menyebut lingkungan hidup sebagai salah satu objeknya. Andaikata dapat ditingkatkan menjadi “extra ordinary crime” dalam bentuk tindak pidana khusus. Indonesia bisa membantu dirinya dari kehancuran ekologis akibat perilaku kerakusan manusiawi.(***)






