PALU, FILESULAWESI.COM – Gubernur Sulawesi Tengah, H. Anwar Hafid, memimpin rapat tindak lanjut penyelesaian konflik lahan di kawasan Trans LIK Tondo, Kelurahan Tondo, Kecamatan Palu Timur, yang digelar di ruang kerja Gubernur, Selasa (21/10/2025).
BACA JUGA: Reses di Lolu Utara, Rienhard Vester Tamma Bantu 14 Unit Pengadaan POS RONDA
Dalam rapat tersebut, Gubernur meminta penjelasan mengenai perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) PT Lembah Palu Nagaya yang dinilai memiliki sejumlah kejanggalan.
Dari laporan ATR/BPN yang disampaikan dalam rapat, diketahui bahwa HGB perusahaan yang berkedudukan di Semarang itu telah diperpanjang sejak 2023, padahal masa berlakunya baru akan berakhir pada 2025. Selain itu, peruntukan lahan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi berubah menjadi kawasan perumahan.
BACA JUGA: Petinggi Bawaslu Kota Palu Bahas Status ASN dengan Wakil Wali Kota
“Kenapa bisa ada perubahan peruntukan dari kawasan transmigrasi menjadi kawasan perumahan? Seharusnya peruntukan awal tetap dipertahankan ketika HGB diperpanjang,” tegas Gubernur Anwar Hafid.
Gubernur juga menyoroti bahwa sejak HGB diterbitkan pada tahun 1995 hingga 2023, lahan seluas 108 hektare tersebut belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Padahal, sesuai ketentuan, perpanjangan HGB seharusnya diberikan pada lahan yang telah dikelola secara produktif.
Rapat yang turut dihadiri Wakil Gubernur dr. Reny A. Lamadjido, pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulteng, ATR/BPN, serta perwakilan PT Intim Anugerah Perkasa itu berlangsung dengan suasana kondusif.
Gubernur kemudian menginstruksikan Dinas Nakertrans untuk segera melengkapi dokumen pelaksanaan program Transmigrasi Swakarsa Industri (TIS) LIK Tondo, serta menelusuri dokumen HGB tahun 1995 yang menjadi dasar kerja sama antara PT Lembah Palu Nagaya dan Pemerintah Provinsi.
“Dokumen ini penting sebagai dasar pijakan agar kita dapat mengambil langkah penyelesaian yang adil, tidak merugikan pihak manapun, baik masyarakat maupun pengusaha,” ujar Gubernur.
Dalam rapat tersebut, kuasa hukum PT Intim Anugerah Perkasa, Frans Manurung, menjelaskan bahwa perusahaannya hanya memiliki lahan seluas 3,2 hektare hasil pembelian dari PT Lembah Palu Nagaya, yang kebetulan berada di area Mess Pondok Karya.
Namun, klaim perusahaan bahwa warga yang menempati mess tersebut bukan bagian dari warga transmigrasi dibantah oleh Tim Satgas Penanganan Konflik Agraria (PKA) Sulteng.
Ketua Satgas PKA, Eva Susanti Bande, memaparkan hasil verifikasi lapangan yang membuktikan bahwa warga di Mess Pondok Karya merupakan peserta program transmigrasi sejak awal tahun 1990-an.
“Temuan kami menunjukkan bahwa mereka bukan pendatang liar, melainkan warga resmi yang datang melalui program transmigrasi,” jelas Eva.
Wakil Gubernur dr. Reny A. Lamadjido turut memberikan pandangan agar penyelesaian masalah dilakukan secara manusiawi.
“Kita berharap semua pihak bijak dalam menyikapi persoalan ini. Jangan sampai ada warga yang kehilangan tempat tinggal tanpa solusi. Pengusaha juga diharapkan dapat membantu mencarikan jalan tengah yang terbaik,” ujar Wagub.
Rapat kemudian ditutup dengan kesepakatan bahwa Pemerintah Provinsi melalui Satgas PKA akan menelusuri lebih jauh dokumen dan fakta lapangan sebelum mengambil langkah kebijakan berikutnya. Pemerintah berkomitmen mencari solusi yang adil, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat serta kepastian hukum.(***)