PALU, FILESULAWESI.COM – Aktivis Agraria, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Provinsi Sulawesi Tengah Eva Bande, sangat tegas meminta kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, untuk menertibkan perusahaan ilegal yakni PT ANA, yang menguasai tanah rakyat di beberapa desa di kabupaten Morowali Utara (Morut).
Bentuk pernyataan tegas ini disampaikan oleh Eva Bande, ketika dalam prosesi konferensi pers bersama awak media, di kediamannya, desa Kalukubula, Sigi, Kamis (9/5/2024) sore jelang magrib.
Diketahui, dalam sesi konferens pers, topik Penyelesaian Konflik Agraria antara masyarakat dan PT. ANA, selain Eva Bande, turut hadir dan memberikan statement keras yakni Ketua Serikat Petani Petasia Timur Ambo Endre, Moh Arif Anggota Serikat Petani Petasia Timur dari desa Toara, Ambo Tang Anggota Serikat Petani Petasia Timur, dan lainnya.
Eva Bande, paparkan, 17 tahun lamanya PT ANA telah beroperasi. Menduduki tanah rakyat tanpa memiliki legalitas hak atas tanah rakyat.
“Kami ingin tanyakan kepada Pemrov Sulteng, tolong jelaskan kepada kami, kepada petani, kepada FRAS, apa hak atas tanah dari PT ANA?. Tidak ada alasan, PT ANA harus serahkan semua tanah, kembalikan kepada rakyat,” urainya kepada FileSulawesi.com.
“Laporan FRAS sejak 22 Oktober Tahun 2021, dari situlah genderang melawan PT. ANA terjadi. Pemrov sebagai pemerintah daerah kemudian mengeluarkan tim dalam menyelesaikan konflik. Apa yang terjadi, kok jauh dari yang diharapkan oleh teman-teman. Saya sangat sayangkan atas proses yang berlangsung dalam tahapan penyelesaian konflik, mestinya tidak begini Pemda melakukannya,” katanya menambahkan.
Menurutnya, Pemrov dalam proses penyelesaian dengan PT ANA, harusnya proses penyelesaiannya terang menderang. Karena diketahui bersama, perusahaan ini (PT ANA), tidak memiliki izin.
“Saya telah banyak mendapatkan alibi dari beberapa penasehat hukum dari perusahaan (PT ANA). Dia bilang bahwa, kalau mereka adalah tindak pidana karena mereka kan, ketika putusan MK keluar tentang kewajiban untuk mengantongi hak guna usaha itu harus dilakukan. Kalau dulu dan/atau, tapi frasa ataunya itu kemudian dihapus. Bahwa dia bilang lebih dulu, tidak. Anda harus melihat, bahwa UU Nomor 39 yang baru Tentang Undang-Undang Perkebunan itu, menyebutkan betul demikian, plus ada tambahannya di pasal yang lain yakni pasal 114, berbunyi untuk penyesuaian selama dua tahun. Jadi, mereka yang dibawah UU itu, yang belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), harus melakukan penyesuaian setelah putusan MK keluar. Jika dalam proses penyesuaian selama dua tahun dia tidak laksanakan itu, maka aktivitasnya dianggap ilegal,” sebutnya.
“Perusahaan telah melewati limitasi waktu yang diatur dalam undang-undang. Jangan rakyat terus yang didorong taat terhadap undang-undang, kok perusahaan dibiarkan untuk tidak taat. Jadi, kalau bicara keadilan, yah harus adil,” sindir Eva Bande.
Kemudian, ia kemukakan, UU Cipta Kerja di pasal 110, memberikan penyesuaian selama tiga tahun lamannya. Setelah UU cipta kerja keluar untuk mereka yang tidak memiliki HGU. Jadi, intinya yang ada adalah penegakan hukum, penertiban dilakukan Pemrov terhadap PT ANA.
“Kembalikan semua hak-hak petani, ada beberapa desa. Kalau kami mendampingi lima desa dari serikat petani dan FRAS, maka lima desa diberikan hak-haknya,” katanya.
Kemudian, Eva Bande menduga, ada proses referivikasi dan revalidasi yang dilaksanakan oleh pemrov Sulteng dengan PT ANA, diduga ada kongkalikong.
“Kalau begini, ada kecurigaan kongkalikong. Kenapa, langkahnya sudah jelas, tidak ada pemerintah memanggil PT Ana lagi. Harus ada penegakan hukum, tindak pidana distu. Tentu ruang korupsi bisa ada dong, dia tidak pernah bayar pajak, apa yang dia bayar pajak sementara dia tidak punya HGU. Kan harus ada HGU untuk perusahaan yang dimana-mana dia mendapatkan hak atas tanah atau lahannya. Sekarang ada sawitnya diatas lahan atau tanah. Tanahnya apa haknya, apa legalitas yang dia pakai. Di negeri ini berdasarkan UU pokok Agraria dan Konstitusi, yang dikenal pemilik sertifikat hanya rakyat, tidak ada yang lain,” jelasnya.
“Jangan main-main dalam penyelesaian ini, jangan rakyat terus yang diuber-uber. Mana datanya, mana SKPT-nya. Loh, perusahaannya tidak diuber, gimana ceritanya, kan ini timpang dalam proses keadilan. Kita tidak menolak investasi akan tetapi berinvestasilah dengan cara yang benar,” sambung dia.
Olehnya, ia meminta dengan tegas dan keras, agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menertibkan PT ANA. Lalu yang kedua, mengembalikan secara keseluruhan hak-hak agraria di lima desa kepada rakyat.
“Lima desa tersebut ialah Desa Bunta, Desa Tompira, Desa Bungintimbe, Desa Towara dan Desa Malino,” sebut Eva Bande.
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Petasia Timur Ambo Endre, ikut memberikan penjelasan terkait dengan keterlibatan pemerintah daerah yang dianggap tidak partisipatif, transparan, dalam penyelesaian konflik dengan PT ANA.
“Kenapa saya katakana tidak partisipatif dan transparan penyelesaian konflik, karena kami yang berkonflik ini tidak dilibatkan. Kedua, Pemrov Sulteng telah membentuk tim referivikasi dan revalidasi. Kami dari serikat petani bersama dengan FRAS, terlibat dalam SK tim itu. Kami sebagai tim pengawas mestinya ikut mengawasi tim referivikasi dan validasi, tetapi kenyataanya tidak dilibatkan,” kata dia.
Ia sampaikan, semua proses yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal referivikasi dan revalidasi atas PT ANA, tidak diketahui prosesnya seperti apa.
“Semua prosesnya kami tidak tahu, apa yang diverifikasi, janjang sawit kah, batang sawitkah, surat tanahkah. Intinya, kami tidak tahu apa yang mereka verifikasi. Secara tegas, saya sebagai pimpinan serikat, menolak semua proses referivikasi dan revalidasi yang dilakukan oleh kepala desa, Pemda Morut serta Pemrov Sulteng. Semua saya anggap tidak sah karena sebagai tim pengawas tidak dilibatkan. Apakah kita berkompromi dengan perusahaan sawit yang beroperasi sejak 2007-sekarang, tidak mengantongi izin apapun,” urainya.
“Saya sesalkan Pemrov, kok bisa-bisanya meminta kepada BPN agar mereka menerbitkan HGU. Sementara regulasi yang berlaku, bukannya HGU dulu baru beroperasi. Tetapi hari ini yang terjadi, operasi dulu baru HGU belakangan, aturan macam apa ini. Ada pula pola diterapkan luasan di desa Bunta, yang tadinya 2 hektar mengalami pengurangan menjadi 1,25 hektar. Aturan seperti apa semua ini, apa dasarnya,” tegas Ambo Endre.zal