MORUT, FILESULAWESI.COM – Aktivis Agraria Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Eva Bande, merespon pernyataan Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Ridha Saleh, yang mengatakan di salah satu media online, bahwa Pemerintah Provinsi telah mensejahterakan petani melalui Reformasi Agraria dalam bentuk distribusi lahan.
BACA JUGA: Aktivis Eva Bande Sebut Gubernur Sulawesi Tengah Gagal Selesaikan Konflik Agraria
“48 kasus agraria yang telah kita mediasi dan di selesaikan. Di Kulawi, kita sudah lepas tanah 300 Ha, di Desa Mbuwu, Kecamatan Banawa Selatan kita lepas 200 Ha dan di PT. ANA 940 Ha,” terang Ridha Saleh.
Aktivis FRAS yang telah memperjuangkan hak-hak petani di Sulteng mengatakan, capaian penyelesaian konflik agraria yang dikatakan Ridha Saleh itu terkesan keliru dan jauh dari realitas yang terjadi.
Menurutnya, ini bukan hanya bagi-bagi tanah. Tapi penyelesaian konflik agraria secara struktural. Seharusnya, menyentuh persoalan mendasar, dan harus tertuang dalam dokumen kebijakan.
Kalau yang dijelaskan Ridha Saleh memberikan keadilan bagi para petani dan telah melepaskan lahan, menurut FRAS itu sangat bertolak belakang dengan kondisi dilapangan.
Pasalnya di beberapa wilayah, para petani justru sedang berjuang mempertahankan tanahnya dari ekspansi korporasi (perusahaan), yang mengakibatkan tersingkirnya petani dari sandaran produksinya tanah, belum lagi pelepasan lahan yang diklaim Pemprov sebagai keberhasilan tentu tidak menyelesaikan masalah yang ada, malah menimbulkan konflik tenurial yang baru.
Di lain sisi, Pemerintah Provinsi seakan tumpul terhadap perusahaan yang menjalankan bisnisnya, tanpa mengantongi dokumen perizinan yang lengkap.
Misalnya PT Agro Nusa Abadi (ANA) perkebunan sawit di Morowali Utara, kurun waktu hampir masuk dua dekade beroperasi tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).
“Sulteng ini darurat agraria, sederet ketimpangan sosial terpampang jelas, mulai dari perampasan lahan oleh kuasa modal sampai kriminalisasi terhadap petani yang mempertahankan tanahnya,” tegas Eva Bande.
Hal senada juga di ungkapkan Ketua Serikat Petani Petasia Timur (SPPT) Morowali Utara Ambo Endre, terkait konfliK agraria yang mereka (petani) alami.
Ia mengatakan, persoalan antara petani dan PT ANA tak pernah ada penyelesaian. Pemerintah Provinsi yang menjadi mediator dianggap gagal menyelesaikan masalah ini, sebab penyelesaiannya sebatas bagi-bagi tanah.
“Reforma agraria seharusnya mampu menyelesaikan konflik agraria yang menimpa kami para petani dan tentunya penyelesaiannya berorientasi pada kedaulatan serta kepentingan rakyat bukan malah perusahaan yang diuntungkan atau dilindungi,” tutup Ambo.zal