PALU, FILESULAWESI.COM – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI menunjukkan sikap tegas dalam menertibkan perusahaan sawit yang beroperasi tanpa sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
BACA JUGA: RSUD Undata Palu Saat Ini Miliki Radioterapi: Permudah Penanganan Kanker
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan, bahwa selama 100 hari kerja, pihaknya telah menertibkan 537 badan hukum/perusahaan sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun tidak memiliki HGU, dengan total lahan mencapai 2,5 juta hektare.
Hal ini mendapat tanggapan serius oleh Pegiat Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah, Aulia Hakim, Pendiri Ruang Setara Project.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Nusron merupakan Langkah yang perlu diapresiasi, akan tetapi menurutnya penertiban perusahaan sawit yang tengah dikerjakan oleh ATR/BPN harus lebih terbuka dan memang tidak pandang bulu bagi pelaku bisnis, baik itu swasta maupun perusahaan Negara. Menurutnya, hampir semua pelaku bisnis sawit meninggalkan jejak buruk di masyarakat.
Ia menjelaskan, khsususnya Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah yang daratannya hampir semua terdapat konsesi-konsesi perkebunan skala besar. Terakhir, total luasan izin perkebunan sawit di Sulawesi Tengah yang telah di kelola maupun yang belum di kelola berjumlah 713.217 Ha.
Di Sulawesi Tengah, ekpansi perkebunan sawit dimulai sejak 1987 melalui pemberian izin lokasi kepada PT. Tamaco Graha Krida (TGK), di Kabupaten Poso (sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali). PT. TGK mengelola perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 10.000 hektar (4.266 hektar kebun inti dan 6.000 kebun plasma) di Kecamatan Petasia, Kecamatan Witaponda dan Bungku Barat.
Perusahaan ini juga memiliki sebuah pabrik CPO di Desa Ungkaya. Hingga saat ini, tercatat perusahaan sawit eksis di Sulteng mencapai 61 perusahaan.
Namun, sangat disayangkan Sekitar 70 persen dari 61 perusahaan sawit di Sulteng saat ini, terdapat 53 perusahaan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Total lahan yang dikuasai oleh perusahaan sawit itu tak tanggung-tanggung. Luasannya mencapai 411.000 hektare, yang tersebar di Donggala, Parigi Moutong, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali, Morowali Utara, dan Poso.
Aulia Hakim juga mengegaskan, Konflik agraria di sektor perkebunan sawit hingga saat ini tak kunjung selesai. Konflik ini seakan sudah menjadi takdir bahwa petani harus menjadi korban. Terdapat 29 letusan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Ia mencontohkan Misalnya, di Banggai, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), perusahaan yang dimiliki oleh taipan lokal Murad Family, secara perizinan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan ini diketahui telah berakhir sejak 31 Desember 2021. Hingga kini, PT KLS tetap beroperasi tanpa Surat Keputusan (SK) pembaruan HGU dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Tengah, yang jika mengacu pada Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah No18 tahun 2021 “permohonan pembaruan HGU diajukan maksimal 2 tahun setelah berakhirnya jangka waktu HGU”.
Aulia sebut, harusnya ini menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebab, pendaftaran maupun pembaruan HGU kuat diduga rawan dan krusial jadi pintu masuk praktik korupsi, arena prosesnya tak transparan.
Begitupun tahapan-tahapannya, sehingga bisa dikatakan hal seperti ini merupakan jalan mulus negoisasi antara perusahaan dengan BPN, karena pemerintah menganggap HGU wilayah privat dan rahasia. Hanya kedua pihak (BPN dan perusahaan) yang mengetahui segala prosesnya.
Ketidakpatuhan hukum yang dipraktikan oleh PT KLS sejak HGU nya berkahir Desember 2021 lalu, jika dihitung sudah 3 tahun perusahaan ini beroperasi tanpa mengantongi SK Pembaruan HGU.
Secara otomatis, perusahaan telah beroperasi tanpa izin atau illegal, sehingga patut untuk diberikan sanksi yang tegas oleh BPN Sulteng, missal dengan tidak memproses penerbitan izin apapun.
Pihak BPN Sulteng, harusnya dapat menjalankan wewenang untuk melakukan penelitian dan memeriksa sebagaimana tertuang dan diatur tugas Panitia B dalam pasal 141 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18 tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah secara substantive.
Menurutnya, Pemerintah bisa saja menghentikan aktivitas perusahaan yang melanggar aturan atas pegelolaan tanah. Mengingat, tanah yang mereka (perusahaan) pakai dikuasai negara, dan pemerintah adalah pengelola negara, punya kewenangan untuk memutuskan memberikan atau mencabut izin.
Seperti halnya HGU, bisa dicabut karena punya batas waktu, adapun soal HGU masa berlakunya sampai 35 tahun, merujuk pada Pasal 21 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
Aulia menjelaskan, harusnya para pelaku bisnis harus tunduk dan patuh terhadap kebijakan. Misal, adanya perubahan peraturan oleh Mahkamah Konstitusi yang mencabut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Di mana badan hukum yang melakukan aktivitas budidaya atau pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki IUP dan izin HGU.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nusro, “Pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga Badan Hukum ini menjadi wajib memiliki IUP dan HGU. Akibat perubahan ini, ada 537 perusahaan pemegang IUP tetapi tidak memiliki HGU. Jika dihitung luasnya berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP), totalnya mencapai 2,5 juta hektare,”.
Sehingga, Aulia meminta Nusron sebagai Menteri ATR/BPN, untuk bisa berkordinasi juga dengan pemerintah di daerah, juga tidak tebang pilih dalam menegakan perusahaan-perusahaan yang nakal.
Ia juga meminta untuk pemerintah Sulawesi Tengah dan DPR RI untuk bisa menindaklanjuti persoalan ini.(***)