Preseden Buruk, Aksi Protes Warga Diputus PN Poso sebagai Perbuatan Melanggar Hukum

Manager Kajian Analisis dan pendampingan Hukum Walhi Sulteng, Sandy Prasetia Makal (kiri), Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Richard F Labiro (tengah) dan Koordinator Eksekutif Jatam Sulteng, Moh Taufik (kanan), saat menggelar konferensi pers bersama awak media, Minggu (20/7/2025) sore.
Manager Kajian Analisis dan pendampingan Hukum Walhi Sulteng, Sandy Prasetia Makal (kiri), Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Richard F Labiro (tengah) dan Koordinator Eksekutif Jatam Sulteng, Moh Taufik (kanan), saat menggelar konferensi pers bersama awak media, Minggu (20/7/2025) sore.. FOTO: Mohammad Rizal/Filesulawesi.com

PALU, FILESULAWESI.COM – Putusan Majelis Hakim PN kabupaten Poso dengan memutus sebagai Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) atas aksi protes warga di Desa Topogaro, desa Tondo dan Desa Ambunu, kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, menutup jalan kantong produksi perusahaan BIIG merupakan preseden buruk bagi lembaga peradilan di Sulawesi Tengah, khususnya di PN Poso.

BACA JUGA: Gubernur Sulteng Resmikan Infrastruktur dan Buka Festival Budaya Danau Lindu

Bacaan Lainnya

Hal tersebut terurai saat digelarnya konferensi pers yang diinisiasi dan tergabung dalam Koalisi Pengacara Hijau (Walhi, Yayasan Tanah Merdeka serta Jatam Sulteng), kepada sejumlah awak media, di ruang pertemuan kantor Yayasan Tanah Merdeka, jalan Tanjung Manimbaya, Kota Palu, Minggu (20/7/2025) sore.

Dalam keterangan resminya, Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Richard F Labiro, menjelaskan pertama-tama yakni       perusahaan telah merampas jalan tani sekaligus lahan perkebunan masyarakat di tiga desa Topogaro, Tondo dan desa Ambunu, hal itu yang diprotes oleh masyarakat.

BACA JUGA: Pemrov Sulteng Buka Ruang Mediasi Tumpang Tindih Lahan di SMAN Model Terpadu Madani Palu

Perusahaan PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) tergabung juga Taman Industri Invesment Grup (BTIIG), melakukan nota kesepahaman melalui MoU dengan pemerintah kabupaten Morowali melakukan tukar guling aset.

Pihak perusahaan melakukan upaya hukum atau menggugat ke Pengadilan Negeri Poso atas kerugian yang dialaminya, baik inmaterial senilai 4 miliar rupiah maupun material senilai 10 miliar rupiah, berdasarkan adanya aksi protes penutupan jalan di kantong produksi yang dilakukan oleh warga setempat.

Namun oleh Majelis Hakim PN Poso, aksi protes oleh warga setempat dianggap suatu tindakan atau disebut dengan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH).

Sehingga dari teman-teman kuasa hukum yang tergabung dalam Koalisi Pengacara Hijau melakukan upaya banding di PTUN Sulteng (saat ini tengah menunggu hasilnya).

“Tujuan sederhana kami menggelar konferensi pers bersama awak media ini, sekaitan dengan adanya putusan PN Poso terhadap lima warga yang dianggap sebagai PMH, ialah ada dukungan publik karena aksi protes oleh warga diakui oleh konstistusi. Itu dianggap suatu tindakan yang melawan hukum, itu yang sangat kami sayangkan, putusan PN Poso,” ungkap Rhicard kepada Filesulawesi.com.

Sementara itu, Manager Kajian Analisis dan pendampingan Hukum Walhi Sulteng, Sandy Prasetia Makal, menambahkan, kelima warga ini mereka bukan aktor utama, aktor aksi. Namun anehnya, pihak perusahaan BIIG menyasar kelima warga tersebut dari sekian warga yang banyak melakukan aksi di jalan tersebut.

Sandy memulai kronologis awal hingga berproses ke putusan PN Poso atas adanya gugatan dari BIIG. Menurutnya, warga (bukan hanya lima orang saja) keberatan mengenai penggunaan jalan yang digunakan oleh perusahaan.

Dalam gugatannya, pihak BIIG menganggap memliki legal standing atau legal hukum, yakni jalan kantong Produksi memiliki surat dari dinas PU Kabupaten Morowali, menerbitkan surat mengenai pinjam pakai jalan Kantong Produksi kepada BIIG.

Sesuai dengan info warga, lanjut Sandy, kesepakatan pinjam pakai jalan tersebut merupakan tukar guling dari pembangunan Bandara Morowali (terungkap pada saat aksi, disampaikan oleh Humas BIIG, sudah ada MoUnya tetapi tidak pernah dikasih lihat).

Sejalan dengan adanya aksi warga jalan di palang, BIIG menggugat lima warga, serta Pemda Morowali sebagai turut tergugat.

Ditengah perjalanan disaat gugat menggugat, pemerintah kabupaten Morowali mencabut surat izin pinjam pakai tersebut. Artinya, penguasaan jalan itu tidak lagi dalam penguasaan BIIG.

Aksi protes yang dilakukan oleh warga setempat (mestinya bukan hanya lima warga yang digugat oleh BIIG), bukan merupakan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH), tetapi di dalam gugatan aksi merupakan PMH.

Kedua mereka dalilkan jalan tersebut berada dalam kawasan BIIG, berdasarkan surat Pinjam Pakai. Kami jawab, bahwa jalan itu sudah bukan merupakan penguasaan BIIG karena sudah ada surat yang mencabut atas surat pinjam pakai itu.

Setelah kami dalilkan itu, mereka pihak BIIG dalilkan kembali, ada kerugian yang timbul dari aktivitas karena menghentikan jalur hasil produksi perusahaan. Materialnya 10 M dan Inmaterial 4 miliar, totalnya ada 14 miliar kerugian pihak perusahaan.

“Pihak perusahaan tidak mampu juga memberikan bukti ada kerugian material dan inmaterial di PN Poso. Sangat disayangkan juga putusan akhir di PN Poso memutus PMH terbukti. Artinya, lima warga yang melakukan aksi terbukti PMH berdasarkan gugatan mereka. Namun untuk gugatan total 14 miliar itu tidak dapat dibuktikan,” kata Sandy.

“Pasca putusan kami lakukan pernyataan banding dan dokumen bandingnya kami sudah kirim ke Pengadilan Tinggi Sulteng melalui PN Poso. Di dokumen banding itu tegas kita nyatakan, bahwa pertama kami minta lima warga itu tidak dinyatakan terbukti melakukan PMH, karena itu aksi yang legal sesuai konstitusi hukum di Indonesia,” katanya Sandy lagi.

“Kedua, mereka aksi tidak diatas jalan perusahaan tetapi di jalan Tambang Produksi. Ketiga, tidak cukup pihak yang mereka gugat, harusnya tidak hanya lima warga, kalau mau menggugat yah harusnya satu kampung karena satu desa yang aksi. Kami menilai, Putusan Hakim PN Poso keliru dalam menyatakan PMH terhadap lima warga. Selain itu, kami meminta gugatan ditolak seluruhnya baik PMH atau 14 miliar itu, atau dinyatakan NO,” bebernya.

Senada dengan itu, Koordinator Eksekutif Jatam Sulteng, Moh Taufik, menambahkan, gugatan ini sudah terdaftar di Pengadilan Tinggi Sulteng, dengan nomor perkara 68/pdt/2025/ptval/8juli2025 melalui PN Poso.

“Perkara yang kita banding ini sudah terdaftar,” urai Taufik.

Kemudian, ia sampaikan, putusan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH), ada hal-hal penting yang tidak dilihat Majelis Hakim PN Poso ialah dengan mengabaikan konteks sosial dan hak konstitusi warga Negara dalam menilai aksi warga sebagai tergugat.

“Putusan MA tahun 2015 dan sudah menjadi yurispedensi putusan MA nomor 508/k/pit/2015, menegaskan bahwa unjuk rasa atau pemalangan selama dalam dilakukan kerangka menyampaikan pendapat secara damai tidak serta merta dapat dikriminalkan atau dianggap sebagai melawan hukum,” sebut Taufik.

“Dalam pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, itu tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Sehingga, dengan keluarnya Putusan PN Poso itu menandakan ada pertimbangan-pertimbangan yang tidak pernah dilihat oleh majelis dalam memutus perkara dan menurut kami ini preseden buruk bagi kita semua, bagi siapapun itu, dalam demokrasi kita,” pungkasnya.zal

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *