Kisah dan Pengalaman WTB, Sebelum dan Setelah Menghuni Huntap
Peristiwa bencana alam Gempa, Likuifaksi dan Tsunami 28 September 2018 di kota Palu, Donggala dan Sigi, menyiskan rentetan peristiwa suka duka bagi Warga Terdampak Bencana (WTB).

Di kota Palu sendiri, peristiwa bencana alam gempa dan tsunami, dialami oleh salah seorang warga kelurahan Lere beserta keluarganya, dengan meninggalkan jejak pilu yakni hilangnya rumah tinggal tempat bernaung, disapu oleh gempa dan tsunami.
Warga kelurahan Lere, kecamatan Palu Barat, Suwarti Yusuf (53), Maslin Lahamitu (73), Abdul Mahmud (21), Masta (19), dan Rifni Maslin (11). Lalu bagaimana kisah duka dan sukanya, berikut ulasannya yang dihimpun oleh awak media ini.
LAPORAN: Mohammad Rizal, Huntap Tondo I
Tepat pukul 16.30 wita sore, di hari Minggu (3/9/2023), awak media ini mendatangi rumah dari keluarga Warga Terdampak Bencana (WTB), di Huntap Tondo I, kelurahan Tondo, kota Palu, beralamat di blok Q Nomor 26.
Tanpak di sore itu, Suwarti Yusuf (istri), duduk dibangku depan halaman rumah bersama dengan sepupu dari suaminya (Sulfa Samsu, berusia 58 tahun), ditemani anak bungsunya Rifni Maslin. Sementara saat awak media ini memasuki halaman rumah milik Suwarti Yusuf, tanpak terlihat suami dari Suwarti Yusuf, terbaring lemas di dalam rumah dengan menggunakan tempat tidur yang seadanya.
Awak media ini menyapa Suwarti Yusuf dan Sulfa Samsu, dengan raut penuh pikiran yang mengembang kemana-mana, Suwarti Yusuf bersama Sulfa, akhirnya menjawab sapaan dari saya dan seketika itu mempersilahkan saya untuk duduk di salah satu tempat duduk yang kosong.
Awak media ini melihat perempuan yang setengah baya, dalam bayangan penuh kerumitan dengan beban pikiran yang menghempas di kepalanya.
Hal ini terjawab saat pertama kali awak menanyakan bagaimana kabar suami (terbaring ditempat tidur), kabar anak dan kabar dari ibu Suwarti Yusuf sendiri.
Dengan memperbaiki letak duduk dan sesekali memaksakan tersenyum kepada saya, Suwarti Yusuf, mengatakan kepada saya, bahwa keadaan mereka dalam kondisi tidak baik-baik saja.
“Suami saya sakit, terbaring, dan sudah tidak bisa lagi berdiri, jalannya nanti dipandu. Sakit karena gejala tekanan darah 200/100. Sakit setelah tinggal di Huntap tiga tahun lalu. Sekarang, sudah tidak bisa menafkahi kami, karena profesi sebelumnya sebagai tukang ojek sudah tidak bisa lagi dijalaninya,” urainya kepada FileSulawesi.com.
“Sore ini, saya bingung mau makan apa, beras tidak ada, makanan tidak ada di rumah, isi dapur kosong, uang tidak ada. ini saya sedang usaha untuk meminjam dengan sepupu saya (Sulfa Samsu),” kata Suwarti sambil memperlihatkan uang 20 ribu rupiah hasil pinjaman dari ibu Sulfa.
Namun menariknya, ketika awak media ini memperkenalkan diri dari wartawan dan ingin mengetahui seperti apa kisah yang pernah dialami oleh keluarga Suwarti Yusuf, ketika bencana alam 28 September 2018, dan hingga menempati Huntap, dengan begitu lancarnya, Suwarti menguaraikan dengan jelas kisah itu kepada awak media ini.
Sore itu menjelang magrib, Suwarti pun mulai berkisah. Menurutnya, keluarganya berasal dari kelurahan Lere dan tinggal di sekitar jalan Cumi-Cumi (tidak jauh dari letak jembatan Ponulele atau jembatan Palu IV).
Dengan sesekali memanggil anak bungsunya, Suwarti menyampaikan, waktu gempa pertama di sore itu, hari Jumat, kami semua berada di dalam rumah (saya baru selesai memasak).
“Paitua (suami saya), masih sehat dan berada di dalam kamar, masih ba ojek. Gempa sorenya begitu kencang, saya bilang sama paitua, coba putar dulu tv siapa tahu ada informasi. Kami lihat ada kejadian di pantai barat (Tompe). Saya bilang, jangan-jangan mau tsunami apa kedalamannya hanya 10 dari dasar laut. Dibilang suami saya, tidak, tidak, tetapi saya sampaikan sama suami saya tidak usah lagi tidur, saya mau ke rumah kakakku di sebelah. Tidak lama menyusul anak yang bungsu,” ungkapnya.
“Sementara anak kedua bernama Masta, mau pigi ke masjid Terapung dengan cucu saya bernama Mei (keponakan saudara saya/almarhumah meninggal dihempas tsunami). Anak pertama saya, kerja sebagai tukar parkir di area lokasi kegiatan Palu Namoni (depan Hotel Mercure). Saya bilang ke suami dan anak-anak, kita tidak usah hari ini pigi ke Palu Namoni, nanti besok saja, karena hari pertama tidak ramai,” katanya menambahkan tanpa ada pikiran mau tsunami.
Sesekali Suwarti menengok ke dalam rumah melihat kondisi suaminya, ia kembali melanjutkan, setelah pamit dari rumah kakakku, di tengah jalan melalui jalan besar (bersamaan dengan azan Magrib), gempa kuat membuat dia sama anak bungsunya tidak bisa berdiri dan terus berjatuhan.
Dengan terus mengeluarkan kalimat Astagfirullah, Allahu Akbar, setelah mulai reda gempa, kami kembali menuju rumah kakakku (Mama Ila), namun rupanya setelah kami tepat berada di depan rumah, tanpak seluruh penghuni rumah sudah tidak berada di rumah, begitupun dengan keluarga dari rumah-rumah yang berada di sekitarnya.
“Saya lihat di sumur airnya Mama Ila itu, semen lantainya sudah terangkat, airnya mengeluarkan luapan air yang mendidih. Kemudian ketika hendak pulang lewat ujung lapangan di sekitar jalan Pangeran Hidayat, saya rasa berat untuk bisa melangkahkan kaki, karena seakan-akan kayak ada yang hisap dari belakang (tidak bisa bergerak). Pas saya lihat di ujung lapangan (arah ke jembatan), air dari dua arah menyatu, begitu tingginya (melebih tinggi tiang listrik), menyatu membuat gelombang tsunami, termasuk merobahkan bangunan jembatan Palu IV,” kata Suwarti dengan terlihat begitu serius menceritakan kisah nyata yang dialaminya.
Tanpa memiliki niat untuk kembali ke rumah dan melihat kondisi rumah, pasca gempa dan tsunami menyebar ke wilayah jalan Cumi-Cumi, Suwarti memutuskan untuk langsung menyelamatkan dirinya dan anak bungsunya pergi mengungsi ke masjid Agung, di hari pertama, pada malam itu juga.
“Sampai di masjid Agung, saya tidak sempat kena tsunami, jadi ketemu dengan teman, saya ke jalan Kedondong, pas malamnya mau tidur, begini sudah saya bertanya, bagaimanan sudah nasibnya anak saya sama suamiku. Setelah bermalam, kami turun kembali ke masjid Agung, mo cari suamiku sama anakku. Ada orang yang biasa kami panggil Pak Tile (Fadli), dia bilang, eh tante, ada Maswa tadi (anak pertama, nama panggilannya), tapi saya sudah tidak tahu dimana. Setelah ketemu dengan sepupuku ini (Sulfa) di masjid Agung, ada yang bilang kalau anakku yang kedua nama Masta (cewek) yang sholat di masjid Terapung, di dapat dalam kondisi luka berat akibat terhempas oleh luapan air tsunami,” ujar ibu tiga anak ini.
“Dia (Anak cewek), di dapat terbaring di dalam got (depan salon Luky) jalan tembang. Sementara cucu saya yang baku bawa dengan Masta ke Masjid Terapung, meninggal dunia pas di ujungnya Meladi (dekat masjid Al-Amin), di kos 45 dekat salon Luki sekitaran jalan Tembang juga,” kisanya kepada awak media.
Lalu, cerita dari suaminya untuk bisa menyelamatkan dirinya dari amukan gempa dan luapan air Tsunami, kata Suwarti, awalnya setelah gempa sebelum masuk air tsunami di dalam rumah, Maslin (suami), mau ambil kunci motor untuk bergegas keluar dari rumah.
Namun, naasnya, maslin tidak menemukan lagi kunci motor dan seketika itu juga tidak bisa lagi keluar rumah, karena robohnya bangunan di sekitar rumah (tinggi dua meter), mengenai bangunan dapur rumahnya.
Maslin berusaha untuk keluar rumah, seketika itu pula air tsunami bak naga berwarna merah (dilihatnya), mulai masuk ke dalam rumah dan yang berakhir menggiring Maslin yang telah berusia lebih dari separuh baya itu.
“Untung ada bangunannya rumah Ko’ yang ba pele (menahan), kalau tidak yah bapak ini meninggal. Air di atas kepala, setelah itu suamiku keluar dari rumah. Nanti jam 10 malam, ada yang minta tolong, bateriak-teriak, cuman suamiku bilang, kemari, saya sudah tidak bisa juga bagerak karena luka semua, tapi lama prosesnya keluar dari rumah, karena kondisi bangunan yang berserakan. Setelah selamat, jadi dia tidur di rumah adat (dekat masjid) yang di jalan Pangeran Hidayat. Nanti kami ketemu, besoknya di hari kedua di Kabonena, ketemu disitu. keponakan Mei dikuburkan di Kabonena. Gunakan kain kafan setengah meter, tinggal kerudung ditambahkan dua, cuman berapa orang yang sholatkan,” katanya sambil menyampaikan, kalau almarhumah Mei ketika itu masih kelas 5 SD, disahuti Sulfa yang tidak jauh dari tempat duduknya.
Setelah mengungsi selama tiga hari di jalan Asam 3, kelurahan Donggala Kodi, hari keempatnya, kembali mengungsi di masjid Agung, dengan tidur tanpa atap dan dinding, hanya beralaskan dengan fasilitas seadanya.
“Belum ada tenda, tidur dilihat itu langit, beralaskan seadanya. Alhamdulillah, jelang tidak begitu lama, sudah ada orang yang kasih bantuan,” tuturnya.
Sebelum Suwarti melanjutkan ceritanya, saya berinisiatif untuk meminta kepada anak bungsunya membeli minuman dan makanan gado-gado (tidak jauh dari rumahnya), untuk di makan berlima (sambil saya serahkan uang 100 ribu rupiah). Dari uang 100 ribu rupiah ini, jika ada kelebihannya beli teh, kopi dan gula, termasuk uang jajannya.
Ini saya lakukan, karena cerita di atas yang disampaikan oleh Suwarti yang sudah tidak memiliki uang. Tidak ada makanan di rumah, bahkan minjam uang sama Sulfa (sore harinya sebelum saya datang).
Setelah si anak bungsunya pergi beli makanan (gado-gado) dan minuman sebanyak lima bungkus (untuk saya, ibu Suwarti, Ibu Sulfa, Rifni (anak bungsu) dan suaminya), Suwarti kembali menjelaskan kembali perjalanannya saat mengungsi di masjid Agung, Huntara Ponegoro hingga tempati Hunian Tetap (Huntap) Tondo I.
Dua bulan berada di pengungsian masjid Agung, lanjutnya, dia menerima informasi bahwa bakal menerima bantuan Hunian Sementara (Huntara), bagi warga penyintas korban bencana untuk kelurahan Lere.
Menempati blok 8 di Huntara Ponegoro, menurutnya, begitu banyak suka dukanya pula saat dilalui bersama dengan keluarga korban bencana gempa dan tsunami, dari kelurahan Lere, kota Palu.
“Kami mau satu tahun lebih di Huntara. Alhamdulillah, bersyukur bisa tempati Huntara. Cuman itu lagi, kalau panas, panas betul kita rasa di dalam rumah, apalagi atap rumahnya begitu dekat sekali dengan kepala kami. Kalau hujan baik malam atau siang hari, air hujan mengenangi lantai kami, basah, mau tidak mau, kami angkat kembali barang-barang kami, biar tidak kena basah,” katanya.
“Soal kebutuhan makan dan minum, Alhamdulillah, ada saja bantuan yang kami dapat. Pernah ada orang baik kasih kami bantuan 500 ribu per KK. Dia panggil kami semua ke dalam musholah dan dia bagikan kami uang tadi,” sebut Suwarti yang dibenarkan Sulfa.
Sebelum datang makanan yang dibeli sama Rifni, anak bungsu Suwarti, dijelaskannya lagi, setelah menempati dua tahun lebih, keluarganya menerima informasi bahwa Pemerintah Daerah, ketika itu, bakal memberikan bantuan kepada warga penyintas korban bencana, untuk menerima bantuan Huntap I, di kelurahan Tondo.
“Mendengar ada bantuan rumah gratis, suamiku mengurus semua persyaratan yang dibutuhkan ketika itu (termasuk sertifikat tanah yang tidak hilang tersimpan di dalam lemari saat ditemukan di rumah yang hancur itu). Alhamdulillah, tepat 25 April tahun 2020, sehari setelah penyerahan simbolis Huntap kepada warga penyintas oleh Wali Kota Palu Hidayat, ketika itu, kami menempati Hunian ini di blok Q Nomor 26,” ungkapnya.
“Lalu, ada disuruh pilih, mau di Huntap Talise, Huntap Duyu atau Huntap Tondo 1, suamiku pilih Huntap Tondo I. Disini, ada warga dari kelurahan Balaroa, kelurahan Petobo dan dari kelurahan Lere,” sambungnya.
Sebelum Suwarti melanjutkan kisahnya berada di Huntap, saya izin pamit untuk ke kios dengan alasan membeli sesuatu. Sesampai saya di kios, saya langsung beli beras yang 5 kg beserta dengan kebutuhan dapur untuk ibu Suwarti. Setelah itu, saya kembali ke rumah ibu Suwarti dan menyerahkan beras 5 kg beserta kebutuhan lainnya.
Sambil menunggu pesanan makanan yang dibeli sama Rifni, yang kini sudah menginjak usia 11 tahun dan sekolah dibangku kelas V SD, Suwarti pun melanjutkan kisahnya.
Anak pertama saya putus sekolah (biaya tidak ada), anak kedua lulus SMA dan kini bekerja, sementara anak bungsunya masih berusia 11 tahun.
Tinggal di Huntap Tondo I ini, menurutnya, hal ia dambakan sekali bersama keluarganya. Hal ini, kata dia, karena bisa membantu hidupnya yang dalam kondisi serba kesulitan. Tidak ada lagi rumah, liku-liku suka dukanya tinggal di tenda pengungsian masjid Agung, tinggal di Huntara Ponegoro
“Alhamdulillah, terima kasih banyak kepada pemerintah yang sudah memberikan bantuan rumah kepada kami. Besar jasanya bagi yang membantu, semoga dapat dibalas sama Allah SWT atas kebaikannya kepada kami,” katanya.
“Cuman memang, kondisi suami saya saat ini sudah tidak bisa menafkahi lagi. Saya butuh modal usaha utuk bisa berjualan Pop Ice dan usaha lainnya. Makan susah, makan tinggal minta sama tetangga yang baik hati. Semoga pemerintah bisa membantu kami yang serba kesulitan dalam ekonomi kami,” harapnya kepada pemerintah dengan disampaikan melalui awak media ini.
Setelah menyelesaikan kisahnya, Rifni (anak bungsu), membawa makanan gado-gado dan minuman. Tepat pukul 19.00 Wita malam, dengan ditemani rembulan malam, ditemani ibu tetangga pemilik kios depan rumah ibu Suwarti, kami santap makanan ala kadarnya yang ada.***