PWI Sulteng dan GAPKI Inisiasi Workshop, Bahas Soal Konflik Agraria dan Implikasi Hukum

Dr. drs. Hotman Sitorus, SH, MH, dengan topik pembahasannya yakni Tinjauan Kebijakan Tata Ruang Industri Kelapa Sawit, saat menyampaikan ulasannya kepada peserta kegiatan Worshop. FOTO : Mohammad Rizal/FileSulawesi.com

PALU, FILESULAWESI.COM – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Cabang Sulawesi kerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Tengah, melaksanakan kegiatan Workhsop Wartawan Gapki Sulawesi 2023, dengan tema Konflik Agraria dan Implikasi Hukum di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan di hotel Palu Golden, tepat pada hari Jumat (20/10/2023) siang.

Menariknya, dalam kegiatan Workshop kali ini, sejumlah narasumber berkompoten dihadirkan dalam mengupas tuntas soal konflik agraria, khususnya di Sulawesi Tengah.

Bacaan Lainnya

Diantaranya ialah Dr. drs. Hotman Sitorus, SH, MH, dengan topik pembahasannya yakni Tinjauan Kebijakan Tata Ruang Industri Kelapa Sawit. Muchtar Tanong (Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Gapki) diapit dan dipercayakan membawakan materi Implikasi Legalitas dan Dampaknya pada Tatanan Sosial. Terakhir, Prof. Dr. Farida Pattinggi, SH, M.Hum (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), dipercaya membawakan materi Peran Pengusaha Kelapa Sawit dalam Menekan Dampak Konflik (tidak hadir).

Ketua GAPKI Sulawesi Doni Yoga Perdana, dalam sambutannya, lebih menekankan kepada insan pers untuk lebih professional dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat terkait dengan persoalan agrarian, khususnya soal perusahaan industri kelapa sawit di Sulawesi Tengah.

Menurutnya, regulasi terbaru dari industri kelapa sawit, menekankan pada sistem informasi perijinan perkebunan yang terpusat. Khusus untuk Anggota GAPKI di Sulteng, keseluruhannya sudah menyelesaikan pengisian regulasi tersebut.

“Ini langkah awal yang baik (kegiatan Workshop), untuk fundamental industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” kata Doni Yoga Perdana.

Setelah Ketua GAPKI menyampaikan sambutannya, lalu disusul dengan sambutan Ketua PWI Sulteng Tri Putra Toana, sekaligus membuka kegiatan Workshop.

Dalam arahannya, Tri Putra Toana, menyampaikan, Workshop Wartawan kali ini dilaksanakan dan digagas, sebagai tanggungjawab PWI untuk meningkatkan dan memberikan pengembangan wawasan persoalan kelapa sawit.

“Industri kelapa sawit di Indonesia dalam perkembangannya sedang mengalami diskriminasi di Uni Eropa, dengan Undang-Undang anti deforestasi. Undang-Undang itu, sejatinya adalah perang dagang persaingan antara minyak nabati produk eropa agar sawit Indonesia sulit masuk ke teritori Uni Eropa,” sebutnya.

“Sehingga apabila ini terjadi, hampir 20 juta yang bergantung di kelapa sawit, akan mengalami kesulitan pengembangan ekonomi. Sehingga, PWI Sulteng mencoba bersinergi dengan GAPKI Sulawesi, agar dapat peserta memberikan pandangan kepada pemangku kepentingan. Kepada yang hadir, saya memohon dan meminta, bahwa hari ini kita sama-sama serius untuk mengikuti masukan-masukan dari GAPKI dan narasumber, sehingga ketika menulis sudah punya pedoman dan wawasan,” jelasnya.

Sementara itu, setelah dipersilahkan moderator, Udin Salim, kepada narasumber untuk menyampaikan materinya, Muchtar Tanong (Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Gapki), mengatakan, kehadiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia maupun di Sulawesi Tengah, pada dasarnya memberi tiga manfaat yakni manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan manfaat sosial budaya.

Dari sisi ekonomi, kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta penguatan struktur ekonomi daerah dan nasional.

“Sementara dari fungsi ekologi, perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penghasil oksigen serta penyangga hutan lindung. Sedangkan dari fungsi sosial budaya, perkebunan kelapa sawit mampu menjadi perekat dan pemersatu bangsa.” urainya.

Lalu kata dia, mengapa keberadaan perkebunan kelapa sawit di sebuah daerah kerap mengundang konflik, baik antar masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan masyarakat? Menurutnya, konflik kerap terjadi akibat adanya tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan.

“Biang kerok konflik ini adalah Undang-undang Cipta Kerja Pasal 110 A dan Pasal 110 B,” pungkasnya.zal

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *