PALU, FILESULAWESI.COM – Percepatan dalam penanganan Penyelesaian Konflik kepemilikan lahan warga dengan perusahaan ternama yakni PT ANA, hari ini mulai memperlihatkan titik terang yang digenjot Pemerintah Provinsi (Pemrov) Sulawesi Tengah.
Terobosan tersebut sebagaimana dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dalam hal melepas 282,74 lahan PT. ANA, untuk dikembalikan kepada petani, di Desa Bunta.
Ini tertuang berdasarkan surat Gubernur Nomor 500.801/235/Ro.Hukum Tentang Pelaksanaan Pelepasan Lahan Perkebunan PT. ANA Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.
Penjelasan diatas disampaikan Staf Ahli Gubernur Sulawesi Tengah Ridha Saleh, saat ditemui awak media di kediamannya (sekolah alam), jalan Uwenompu kelurahan Donggala Kodi, kota Palu, hari ini, Jumat (10/5/2024).
Dijelaskannya, era Gubernur Sulawesi Tengah H Rusdy Mastura saat ini, sangat bersungguh-sungguh, memiliki niat baik dalam menyelesaikan seluruh permasalahan lahan masyarakat, khususnya masalah konflik lahan di PT ANA.
“Ini ada perkembangan, selama 12 tahun tidak ada perkembangan, nanti di era Rusdy Mastura ada titik terang. Ia tentu bersungguh-sungguh dengan niat baik dalam menyelesaikan seluruh kasus masyarakat,” urainya kepada FileSulawesi.com.
Kemudian, lanjut Ridha Saleh, diakui memang bahwa status PT ANA hanya memiliki izin produksi dengan tidak memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU).
“Mereka dapat perpanjangan izin lokasi. Jadi, izin lokasi itu sebelum pada tahun 2014 itu dimungkinkan, setelah 2014 tidak boleh, harus ada HGUnya. Pada tahun 2016, dilakukan reverifikasi dalam rangka menyelesaikan konflik, agar mereka bisa mengurus HGU. Sampai selesai mereka tidak bisa mengurus HGU karena masih berkonflik. Dengan aturan baru itu, maka kebun yang tidak miliki HGU itu dianggap bermasalah,” sebutnya.
“Status PT ANA saat ini hanya memegang izin produksi (telah diperpanjang oleh bupati Morowali Utara, meski tidak dibenarkan),” katanya menambahkan.
Menurutnya, ada lima desa, kini yang tengah bermasalah yang akan diselesaikan konflik lahan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
Desa yang berkonflik tersebut yakni diantaranya Desa Bunta, Desa Tompira, Desa Bungintimbe, Desa Towara dan Desa Malino, kecamatan Petasia Timur, kabupaten Morowali Utara (Morut).
“Desa Bunta semuanya sudah kita klierkan masalahnya, dengan mengembalikan lahan dari PT ANA kepada masyarakat, sebanyak 282,74 hektar. Selanjutnya, Desa Bungintimbe saat ini sedang dalam proses reverifikasi administrasi dengan jumlah lahan sekitar 600 hektar lebih, ini yang akan diselesaikan pula. Sementara Desa Tompire, Desa Towara dan Desa Malino masih menunggu dahulu proses reverifikasi data lahan,” ungkap Ridha Saleh.
Ia katakan, dalam proses penyelesaian konflik melalui reverifikasi lahan, bukan Pemerintah provinsi saja yang terlibat aktif. Melainkan disana ada peran dari kepala desa, pemerintah kabupaten, rakyat, PT ANA, termasuk dari serikat pekerja Petani Petasia Timur dan FRAS Sulteng.
“Reverifikasi itu dilakukan secara berjenjang dari desa, setelah selesai di desa diajukan ke provinsi, kita undang semuanya, hadir semuanya, termasuk Ambo Endre (Ketua Serikat Petani Petasia Timur) ada. Namun, dalam waktu reverifikasi berjenjang di tingkat desa tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan tidak mampu menyelesaikan, maka pemrov Sulteng mengambil alih dengan melakukan reverifikasi meja (agar mempercepat penyelesaian),” sebutnya.
“Kita berterima kasih kepada FRAS yang selalu mengkritik pemerintah provinsi. Hanya perlu ada kejujuran dengan upaya dari pemerintah provinsi hari ini, yang telah berupaya maksimal dalam rangka menyelesaikan konflik lahan. Mereka sudah dilibatkan dalam SK pengawasan. Hanya saja, mereka khususnya Koordinator FRAS Sulteng Eva Bande, terlalu sibuk dalam mengurus Pileg beberapa bulan lalu, sehingga menganggap tidak dilibatkan, padahal dilibatkan. Serikatnya kita libatkan pula dalam proses referivikasi mulai dari tingkat desa,” papar Staf Ahli Gubernur.
Olehnya, ia tegaskan, Pemrov Sulteng berharap, agar permasalahan konflik lahan di PT ANA segera selesai. Sehingga tidak ada lagi konflik berkepanjangan, dengan cara mengembalikan lahan atau tanah kepada masyarakat.
“PT ANA bisa mengurus HGU jika tidak ada lagi konflik dengan warga. Selama masih ada konflik, maka BPN tidak akan memproses izin HGU tadi,” tutupnya.zal