Dari Sampalowo ke Ujung Nurani—Hendly Mangkali dan Jalan Sunyi Kemanusiaan

Pemimpin Redaksi (Pimred) Beritamorut.com, Hendly Mangkali, memiliki perhatian besar terhadap kepedulian dengan sesama.
Pemimpin Redaksi (Pimred) Beritamorut.com, Hendly Mangkali, memiliki perhatian besar terhadap kepedulian dengan sesama. FOTO: IST

DESA SAMPALOWO, FILESULAWESI.COM – Sebuah nama yang mungkin tak akrab di telinga mereka yang sibuk memutar waktu di tengah hiruk pikuk kota. Tapi dari tanah kecil itu, yang dikelilingi hijaunya ladang dan bisik sunyi sungai kecil, lahirlah seorang anak muda yang kemudian menjelma menjadi suara bagi mereka yang nyaris tak pernah punya panggung: Hendly Mangkali.

BACA JUGA: Gubernur Anwar Hafid Sambut Baik Rencana Investasi PT Raja Boga di Sulteng

Bacaan Lainnya

Dalam masyarakat yang semakin bising oleh kejaran popularitas, jabatan, dan sensasi, Hendly memilih jalan yang paling sepi—jalan yang tak menjanjikan tepuk tangan, tapi penuh luka yang minta diobati. Ia adalah gambaran jurnalis yang bukan hanya menggenggam pena, tapi juga menggenggam tangan orang-orang yang nyaris terlepas dari perhatian publik.

BACA JUGA: Akademisi Hingga Politisi Minta Hitung Ulang Kelayakan Pembagian DBH untuk Sulteng

Sebelum dunia mengenalnya sebagai pendiri beritamorut.com, Hendly telah meniti lorong-lorong sunyi dalam kerja-kerja kemanusiaan bersama NGO luar negeri. Hampir satu dekade, ia mengabdikan dirinya untuk pemberdayaan dan penguatan masyarakat. Ia menyaksikan tangis para ibu yang ditinggal mati karena tak bisa mengakses layanan kesehatan. Ia mendengar isak anak-anak yang tak mengenal huruf. Dan ia tahu persis bahwa di antara laporan-laporan proyek yang indah, ada kenyataan pahit yang tidak pernah cukup dituliskan.

Tapi Hendly tidak berhenti di situ. Ia merasakan bahwa perubahan sejati tidak akan datang dari balik konferensi ber-AC, melainkan dari suara-suara kecil yang terus dibisukan. Maka, ia mendirikan beritamorut.com. Sebuah media lokal, kecil secara sumber daya, tapi besar secara hati. Media yang bukan sekadar menyajikan berita, tapi menjadi saksi bagi penderitaan, harapan, dan perlawanan rakyat kecil.

Media ini bukan dibangun dengan modal investor besar atau iklan politik. Ia dibangun dari idealisme dan keberanian. Hendly mempertaruhkan nama, tenaga, bahkan kenyamanannya untuk menjaga agar kebenaran tetap punya ruang. Sebab baginya, jurnalisme bukan panggung kemewahan, melainkan ladang pengabdian.

Dan di ladang itulah ia menanam benih-benih cinta, bukan hanya untuk masyarakat, tapi juga untuk keluarganya. Bersama Iser Morta, perempuan tangguh yang menjadi pelabuhan tenangnya, Hendly membangun rumah yang sederhana, tapi penuh makna. Dari cinta mereka, lahirlah Gandi Moreno Mangkali—Neno, anak kecil yang sejak lahir sudah akrab dengan riuh gelisah dunia sosial yang digeluti ayahnya.

Rumah itu, yang secara fisik hanya sepetak tempat berteduh, bagi banyak orang telah menjelma menjadi ruang aman. Tempat bayi-bayi sakit singgah sebelum dioperasi. Tempat aktivis rehat dari kejaran. Tempat di mana harapan diberi tempat duduk, bukan hanya disinggung di status Facebook.

Kita mungkin terkejut mendengar, bahwa di saat status hukumnya menjadi perbincangan liar, Hendly masih sempat berbicara dengan keluarga seorang bayi dari pelosok yang akan menjalani operasi di Palu. Bayi itu—yang mungkin tak akan pernah muncul di layar media nasional—dititipkan ke rumah Hendly. Dan dengan suara yang tetap tenang, ia berkata, “Biar tinggal di sini dulu, nanti saya bantu urus.” Kalimat sederhana itu menyimpan sejuta makna. Ia bukan hanya bicara soal bantuan logistik, tapi bicara tentang keberanian untuk hadir, bahkan ketika dirinya sendiri sedang di ujung tekanan.

Dalam dunia yang semakin sinis, Hendly tetap percaya pada kekuatan empati. Dalam masyarakat yang lebih peduli pada viralitas, ia tetap setia pada kejujuran. Ia datang ke tempat di mana listrik belum menjangkau, ke rumah-rumah yang dindingnya reyot, ke titik-titik krisis yang bahkan tak punya nama di peta.

Dan kini, di usia mudanya, Hendly berdiri di persimpangan: antara desakan kekuasaan dan suara hati. Antara menjaga idealisme atau berkompromi. Tapi mereka yang mengenalnya tahu, bahwa ia tak pernah benar-benar bisa dikendalikan. Ia sudah terlalu akrab dengan penderitaan untuk bisa dibungkam oleh ancaman.

Dunia mungkin tak akan memberi panggung besar bagi Hendly Mangkali. Tapi sejarah kecil masyarakat akar rumput akan mencatat namanya. Sebagai jurnalis. Sebagai pejuang. Sebagai manusia.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar kantor kita, seberapa tinggi jabatan kita, atau seberapa ramai pengikut kita yang akan dikenang. Tapi seberapa dalam kita mencintai sesama manusia.

Dan dalam hal itu, Hendly telah menanam namanya dalam-dalam di hati banyak orang. Termasuk saya. Termasuk kita semua.(***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *