Soal Laporan Pelanggaran Administrasi Pilkada, Begini Penjelasan Akademisi UIN Datokarama Palu

Akademisi UIN Datokarama Palu Dr Sahran Raden
Akademisi UIN Datokarama Palu Dr. Sahran Raden. FOTO : Mohammad Rizal/FileSulawesi.com

PALU, FILESULAWESI.COM – Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Sahran Raden mengingatkan Bawaslu lebih berhati-hati, terkait laporan pelanggaran administrasi Pilkada serentak 2024.

BACA JUGA: Musda Ke-10 DPD REI Usung Membangun Sinergi dan Inovasi Menuju Indonesia Emas

Bacaan Lainnya

“Sebaikanya Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota, untuk berhati-hati melalukan pengkajian, sesuai dengan norma dan peristiwa hukum yang terjadi,” katanya dihubungi di Palu, Jumat.

Hal itu disampaikan Sahran saat diminta tanggapannya terkait dilaporkannya KPU Sulawesi Tengah, KPU Kota Palu dan KPU Morowali Utara di Bawaslu masing-masing daerah. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran administrasi, penetapan pasangan calon kepala daerah oleh untuk Pilkada serentak 2024.

Substansi dari ketiga laporan itu, dimana KPU setempat telah meloloskan pasangan calon petahana, yang melakukan mutasi atau pengantian pejabat, enam bulan sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU. Tindakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada Pasal 71 ayat (2), UU Pilkada mengatur kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.

“Meskipun dilarang, tetapi ada pengecualian tindakan itu, melalui satu mekanisme persetujuan tertulis dari menteri,” kata Sahran.

Dia menjelaskan yang disebut adalah mutasi, menukarkan pejabat satu dengan pejabat lain. Dimana salah satu alasan, dimungkinkan adanya konflik kepentingan.

“Namun akan dilihat, apakah satu jabatan itu sebatas mutasi, atau pengisian. Kalau pengisian karena jabatan kosong, karena wajib diisi, kalau tidak akan menggangu pemerintahan di daerah, itu juga harus menjadi pertimbangan,” kata Mantan Ketua KPU Sulteng itu.

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulteng itu menjelaskan dalam hukum dikenal dengan azaz fiksi. Dimana setiap Undang-Undang yang telah diundangkan, dianggap diketahui oleh masyarakat. Sehingga, ketidaktahuan hukum tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum.

“Meskipun tidak membaca Undang-Undang itu, karena berlaku asas fiksi, dan melakukan suatu perbuatan, maka dianggap sudah tahu,” katanya menegaskan.(***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *