Pemangkasan Anggaran: Langkah Efisiensi atau Ancaman Kestabilan Sosial

Penulis: Moh. Yamin (Redaktur Channelsulawesi.id)
Penulis: Moh. Yamin (Redaktur Channelsulawesi.id). FOTO: IST

PALU, FILESULAWESI.COM – Pada awal tahun 2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengambil langkah besar dengan menginstruksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memangkas belanja negara guna mengefisienkan anggaran negara.

BACA JUGA: SMK Muhammadiyah 1 Palu Buka Seleksi Penerimaan Murid Baru

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tersebut mengarahkan pemangkasan terhadap belanja operasional dan non-operasional di seluruh Kementerian/Lembaga, yang totalnya mencapai Rp 256,1 triliun pada Tahun Anggaran 2025.

Meskipun langkah ini diharapkan bisa membawa efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara, kebijakan ini langsung menuai sorotan karena potensi dampaknya terhadap perekonomian masyarakat Indonesia.

Pernyataan Presiden Prabowo dan kebijakan pemangkasan anggaran yang diterapkan oleh pemerintah tentu saja berangkat dari niat baik untuk mengurangi pemborosan dan memastikan efisiensi di dalam anggaran negara.

Namun, di balik kebijakan tersebut terdapat kekhawatiran besar yang harus diwaspadai, yaitu dampaknya terhadap sektor ekonomi domestik yang sedang berjuang dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan pandemi yang belum sepenuhnya pulih.

Sebagai negara dengan populasi yang besar, dampak dari pemangkasan ini tidak hanya dirasakan oleh sektor pemerintahan, tetapi juga menyentuh langsung masyarakat, pengusaha, dan pekerja di berbagai sektor ekonomi.

Pemangkasan anggaran negara, terutama pada sektor operasional dan non-operasional Kementerian/Lembaga, berpotensi mengurangi alokasi anggaran yang seharusnya dapat digunakan untuk sektor-sektor yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Salah satunya adalah alokasi anggaran untuk program-program bantuan sosial yang penting untuk mendukung daya beli masyarakat.

Dengan penurunan anggaran di sektor ini, bantuan yang selama ini diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dapat terganggu, yang pada gilirannya bisa menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara keseluruhan.

Daya beli masyarakat yang melemah akan mengarah pada penurunan konsumsi rumah tangga. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Penurunan konsumsi ini tentu dapat menekan pertumbuhan ekonomi, dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi yang sudah tertekan oleh berbagai tantangan.

Salah satu sektor yang akan merasakan dampak langsung dari pemangkasan anggaran adalah sektor usaha. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia akan sangat terdampak dengan berkurangnya dukungan anggaran pemerintah, terutama yang berkaitan dengan bantuan modal dan insentif bagi pengusaha. Tanpa adanya bantuan yang cukup, pengusaha kecil yang selama ini bergantung pada insentif dan subsidi pemerintah akan kesulitan untuk bertahan.

Beberapa perusahaan besar juga tidak akan terlepas dari dampak ini. Seperti yang sudah terjadi pada Januari 2025, di mana TVRI dilaporkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Ini menjadi sinyal bahwa pemangkasan anggaran juga berdampak pada dunia usaha, yang pada gilirannya bisa menyebabkan pengurangan jumlah lapangan pekerjaan. PHK massal bukan hanya berdampak pada karyawan yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara lebih luas, seperti meningkatnya tingkat pengangguran yang sudah menjadi tantangan besar.

Penurunan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh pemangkasan anggaran dapat memicu peningkatan ketidakstabilan sosial. Ketika masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka, ini bisa menyebabkan keresahan sosial, salah satunya dalam bentuk meningkatnya angka kriminalitas.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Sosial Ekonomi dan Keamanan Universitas Indonesia (LSEK UI) tahun 2023, mengungkapkan bahwa kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang memicu peningkatan tingkat kriminalitas, terutama yang berkaitan dengan pencurian dan kekerasan.

Dengan semakin menurunnya daya beli dan semakin banyaknya pengangguran, potensi ketidakstabilan sosial dapat semakin meningkat, yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan pemangkasan anggaran tidak justru memperburuk situasi.

Pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah memang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, pemangkasan ini harus dipertimbangkan dengan matang, mengingat dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan sektor-sektor ekonomi yang sensitif.

Sebagai negara yang masih memiliki 8,57% masyarakat miskin, kebijakan ini seharusnya tidak hanya mengutamakan efisiensi, tetapi juga harus seimbang dengan upaya menjaga kesejahteraan masyarakat, pengusaha, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

Pemerintah perlu memastikan bahwa pemangkasan anggaran dilakukan dengan bijak dan proporsional, tanpa mengorbankan sektor-sektor yang dapat menjaga daya beli masyarakat dan kestabilan sosial.

Selain itu, peran pemerintah dalam mendorong sektor swasta untuk tetap tumbuh dan menyediakan lapangan pekerjaan harus menjadi perhatian utama. Jika tidak, pemangkasan anggaran ini berpotensi memperburuk kondisi ekonomi yang sudah rapuh dan berisiko menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar.

Penulis: Moh. Yamin (Redaktur Channelsulawesi.id)

BKPSDMD KOTA PALU
BAPENDA KOTA PALU
DISHUB KOTA PALU
BPKAD KOTA PALU
Camat Palu Timur
Kasatpol-PP Kota Palu

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *