Berikut Ini Penjelasan Kepala BPBD Kota Palu Presly Tampubolon
PALU, FILESULAWESI.COM – Dalam regulasi atau aturan peruntukan Hunian Tetap (Huntap) bagi warga Penyintas (korban bencana), syarat bagi calon penerima Huntap ialah tentunya harus memiliki unit rumah yang rusak, memiliki alas hak (sertifikat), atas dampak resiko dari kerusakan unit hunian tersebut.
Lalu, bagaimana dengan warga penyintas korban bencana yang tidak memiliki alas hak (sertifikat), tidak memiliki unit hunian, namun tinggal di Hunian Sementara (Huntara) sejak bencana alam 28 September 2018, dan berharap pemerintah memberikan unit Huntap dilokasi pembangunan Huntap Kawasan, yang dibangun kementerian PUPR hari ini.
Lebih jelasnya, berikut penjelasan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Presly Tampubolon, kepada awak media, saat ditemui langsung di ruangannya, Kamis (21/9/2023).
Presly Tampubolon mengatakan, di dalam regulasi Huntap, tentunya kita harus lihat persyaratan-persyaratan prinsip tentang perolehan Huntap. Disitu dijelaskan, yang terdampak memiliki hunian yang rusak, memiliki alas hak atas dampak resiko kerusakan itu.
Nah persoalannya sekarang, kalau acuannya dari hal itu, berarti yang tidak memiliki syarat tadi, maka regulasi apa yang menjadi dasar untuk mendapatkan Huntap.
Sementara, sampai sekarang lanjutnya, belum ada regulasi yang mengatur, selain alas hak dan miliki hunian yang rusak, warga bisa menerima Huntap.
“Kalau dari regulasi tentu tidak bisa, tetapi kalau dari kebijakan pemerintah, solusi apa yang diberikan, itu tentu dikembalikan dari suatu kebijakan yang harus diambil oleh kepala daerah,” urainya kepada FileSulawesi.com.
“Saya kasih contoh seperti ini, pemerintah mau membangunkan rumahnya berdasarkan kebijakan, tentunya dasarnya dengan menggunakan apa, sumber pembiayaan dari mana. Sejauh ini, itu yang belum ada. Skema yang mana mau dipakai, kalau memang mereka mau diakamodir diberikan rumah. Tentu untuk pos anggaran saat ini kan sudah ada ploting-plotingnya. Kalau dibuat ini menjadi pos lainnya, maka ini membuat jadi susah dalam pemanfaatan anggaran yang bukan pada posnya, nah ini yang menjadi permasalahan,” katanya menambahkan.
Presly kembali mencontohkan, kalau menggunakan biaya pemerintah daerah, tentu ada perencanaan yang telah dilakukan jauh hari sebelumnya.
“Artinya, ada skema-skema yang bisa digagas. Misalnya, apakah kita bisa membangun dengan menggunakan dana CSR dari pemerintah, untuk memberikan kebijakan-kebijakan kepada mereka, itu salah satu contoh. Kemudian, apakah ada sumber pembiayaan yang bisa digunakan. Misalnya, dari Pemrov ada kebijakan, maka Pemkot bisa mengusulkan. Bahwa masih ada yang terdampak walaupun tidak mempunyai alas hak bisa dapat perumahan,” ujarnya.
Semua pokok-pokok kebijakan di atas, kata Presly, perlunya dipikirkan oleh seluruh OPD teknis, yang bersentuhan langsung dengan penanggulangan rehab-rekon pasca bencana tadi.
“Di BPBD ini merupakan koordinasi system. Misalnya, kalau ada kebijakan pembangunan perumahan terdampak, itu harus dibangun dari dinas teknisnya. Ada dari Dinas Perkim, dari PU misalnya, dari aspek pertanahan misalnya dari BPN dan Dinas Tata Ruang. BPBD terus mendorong bagaimana sesungguhnya menjawab persoalan-persoalan itu. Kalau BPBD sendiri, tentu runutnya pada pendataan terhadap warga yang terdampak untuk menerima unit Huntapnya saja,” jelasnya.
Diketahui, berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, terdampak tiga titik potensial warga penyintas yang masih tinggal di Hunian Sementara (Huntara), hingga hari ini.
Diantaranya, Huntara Angkasa Muda di kelurahan Layana masih dihuni sekitar 60 KK (tidak miliki alas hak), Huntara Hutan Kota kelurahan Talise, masih dihuni sekitar 40 KK (tidak miliki alas hak), serta Huntara Asam 3.zal