Kasus Lahan Perkebunan di Sulteng, Simpra Tajang: Kita Tidak Berpihak Ke Perusahaan

Kepala Bidang (Kabid) Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulteng, Simpra Tajang. FOTO : Mohammad Rizal/FileSulawesi.com

PALU, FILESULAWESI.COM – Pemerintah Provinsi (Pemrov) Sulawesi Tengah melalui Dinas Perkebunan dan Peternakan, tegas, tidak ada kompromi atau berpihak dengan perusahaan untuk mengambil keuntungan, dengan mengabaikan hak-hak dari masyarakat (petani).

Diketahui sebelumnya, dari berbagai pemberitaan di media lokal, beragam kasus lahan perkebunan sawit antara warga petani dan pihak perusahaan, seperti di kabupaten Morowali Utara, hingga hari ini belum menemui titik terang dalam penyelesaian.

Ambil contoh PT ANA, meskipun hasil mediasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dapat melepaskan 282,74 lahan PT. ANA, untuk dikembalikan kepada petani di Desa Bunta.

Akan tetapi, ini belum menyelesaikan seluruh kasus yang terjadi antara PT ANA dan warga petani, di kecamatan Petasia Timur, kabupaten Morut.

Masih ada sekitar empat desa lagi yang belum menemui titik terang. Seperti Desa Tompira, Desa Bungintimbe, Desa Towara dan Desa Malino.

Selain itu, kasus yang mengemuka beberapa waktu lalu ialah pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah H. Rusdy Mastura, yang menyampaikan bahwa, ada sekitar 41 perusahaan di Sulawesi Tengah, belum memiliki HGU (sumber FileSulawesi.com, judul berita: Aktivis Eva Bande Sebut Gubernur Sulawesi Tengah Gagal Selesaikan Konflik Agraria, tayang hari Kamis, 6 Juni 2024).

Sorotan Aktivis Agraria Eva Bande, terkait dugaan keberpihakan Pemerintah Daerah (Pemda) Morowali Utara (Morut) kepada perusahaan ketimbang kepada rakyat petani (sumber FileSulawesi.com, judul berita: Pemda Morut Berpihak Ke Petani Rakyat Atau Perusahaan Perkebunan Tak Miliki Izin, tayang hari Sabtu, 18 Mei 2024).

Serta beberapa kasus lainnya di wilayah Sulawesi Tengah, yang tengah disoroti oleh aktivis agraria Eva Bande (Seperti halnya 41 perusahaan sawit skala besar yang beroperasi tanpa mengantongi izin legalitas Hak Guna Usaha (HGU), di 7 kabupaten. Diantaranya Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), Morowali Utara (Morut), Parigi Moutong, Morowali, Poso, Toli-Toli dan Donggala, dengan total luasan 411.957,28 hektar, atau 10,2 persen dari total 53 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Sulawesi Tengah).

Menyikapi hal tersebut, Kepala Bidang (Kabid) Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulteng, Simpra Tajang, menyampaikan pertama-tama ialah pemerintah provinsi, tak pernah berpihak kepada perusahaan, dalam proses memediasi sengketa atas lahan perkebunan sawit.

“Kami selama ini dinas, kami tidak pernah berpihak kepada perusahaan. Kita berjalan pada posisi yang netral. Kita ini Pembina, maunya dua-dua hidup, baik perusahaan maupun masyarakat. Memang kita butuh investasi untuk perputaran ekonomi, pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak juga korbankan rakyat,” urainya kepada FileSulawesi.com, saat ditemui langsung di ruangannya, Senin (10/6/204) sore.

“Contoh, kalau pemerintah berpihak kepada perusahaan, kenapa perusahaan di Morowali dicabut IUP nya. Artinya, pemerintah tidak berpihak ke perusahaan. Jadi, saya pikir pandangan orang bisa-bisa saja, dengan menggunakan sudut pandang dari mereka,” katanya menambahkan.

Ia jelaskan, bahwa letak kewenangan dalam menyelesaikan kasus lahan perkebunan sawit ada di pemerintah kabupaten. Sementara pemerintah provinsi dapat menyelesaikan tersebut jika berada dalam lintas kabupaten.

“Berdasarkan UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 ada kewenangan di kabupaten. Kewenangan kabupaten adalah mereka yang berada dilokasi operasional di kabupaten itu sendiri. Lintas kabupaten baru kewenangan provinsi, lintas provinsi kewenangan pusat. Misalnya, kalau ada masalah perkebunan di kabupaten Morowali berarti kewenangan Pemda Morowali. Kalau ada di antara Morowali-Poso, maka kewenangan provinsi. Begitu seterusnya,” sebutnya.

Kemudian, lanjut Simpra, upaya Gubernur dalam menyelesaikan konflik agraria khususnya di wilayah kabupaten Morut, tidak ada yang di korbankan. Dua-duanya Gubernur inginkan kenyamanan. Satu nyaman hidupnya di desa satu nyaman hidupnya di perusahaan.

Jika ada yang menganggap, bahwa Gubernur Sulawesi Tengah gagal dalam menyelesaikan kasus agraria, kata dia, biarkan saja mereka berpandangan seperti itu.

“Setiap orang bisa berpendapat seperti itu. Tetapi kan kami juga pemerintah provinsi sudah berupaya dalam upaya memediasi. Upaya mediasi ini, bukan hanya melibatkan dinas perkebunan saja tetapi seluruh stakeholder terkait,” ungkapnya.

Yang terbaru, melalui Rapat Koordinasi (Rakor) tanggal 4 Juni 2024 lalu, bagaimana harapan besar, keinginan besar dari Gubernur Sulawesi Tengah, kepada 41 perusahaan yang belum memiliki izin HGU, agar segera mengurus HGU.

“Disitulah Pak Gub menghimbau segera urus, segera selesaikan. Dan ini mendapat respon dari masing-masing perusahaan. Itu salah satu upaya pemerintah mengundang mereka dan mereka datang, harus mereka mengurus HGU. Mereka begitu antusias, karena warning pak Gub, harus segera diselesaikan. Saya pikir, kalau di bilang gagal, ini tidak,” jelasnya.zal

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *