PALU, FILESULAWESI.COM – Kepala Kantor (Kakan) Badan Pertanahan Kota Palu Dr. Yusuf Ano, S.SiT, MH, C.Med, QRMP, menjelaskan terkait dengan status lahan warga yang terdampak Likuefaksi di dua kelurahan di kota Palu, yang terdampak karena bencana alam 28 September 2018 silam.
BACA JUGA: Menteri ATR/BPN Rencana Hadiri HAUL GURU TUA, Yusuf Ano: Ikut Serahkan Sertifikat Tanah Wakaf
Menurutya, sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana pasal 32 ayat 1 dan ayat 2, telah dijelaskan peruntukkan atas lahan warga yang terdampak oleh Likuefaksi maupun Tsunami.
BACA JUGA: Polda Sulteng Catat 25.011 Pelanggaran Lalulintas Setelah Berakhir Operasi Ketupat Tinombala
“Pasal 32 ayat (1): Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat: a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman;dan/atau b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Ayat (2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan,” ungkap Dr Yusuf Ano kepada Filesulawesi.com, saat ditemui langsung di ruangannya, Kamis (10/4/2025).
Kemudian ia menambahkan, apa ganti rugi terkait dengan peraturan Perundang-Undangan karena pemerintah yang akan mencabut, pemerintah yang butuh tanah itu, maka peraturan yang mengaturnya itu adalah UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Turunan dari PP Nomor 19 adalah Permen Agraria Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
“Tetapi ini kita sudah sampaikan kepada Kabid Pertanahan di Dinas Penataan Ruang dan Pertananan Kota Palu bahwa sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana di pasal 32 menyebutkan bahwa Ayat 1 disebutkan Pemerintah menetapkan bahwa daerah yang terkena bencana dilarang penggunaan tanahnya untuk permukiman atau Ayat 2, berarti ayat satu dimaknai dilarang dibangun, kan sekarang sudah tidak ada bangunan berarti dia boleh bercocok tanam donk. Kita harus berpegang dengan Undang-Undang, maka Perdanya kurang menyesuaikan dengan mengikut Undang-Undang tersebut,” bebernya.
Selanjutnya, Dr Yusuf Ano menjelaskan sekaitan dengan status keperdataan tanah di lokasi Likuefaksi semisal di kelurahan Balaroa dan kelurahan Petobo, termasuk Tsunami di pesisir pantai di kota Palu.
“Kalau di likuifaksi dia kena bencana, bageser lahannnya tetapi cuman permukaan lahannya saja yang bergeser, koordinatnya yang tidak bergeser, koordinatnya tidak hilang. Status QUO untuk permukiman tetapi tidak status QUO untuk non permukiman misalnya pertanian, itu bisa. Pemilik lahan juga boleh tanami kalau tidak dibayar ganti rugi oleh Pemerintah. Boleh pemerintah kerjasama dengan pihak ketiga apabila dilalui tahap B ini, mencabut atau cuman dikurangi atas hak tanahnya,” urai Dr Yusuf Ano.
“Sementara di lahan yang terdampak Tsunami karena abrasi hilang sebahagian dan sebahagian yang tidak hilang itu masih miliki status keperdataan milik warga,” pungkasnya.zal