Pilkada Sulteng Sebuah Proses Pendewasaan Demokrasi: Kemenangan BERANI adalah Kemenangan Rakyat Sulteng

Inisiator Samrat Berani Eva Bande
Inisiator Samrat Berani Eva Bande. FOTO : IST

PALU, FILESULAWESI.COM – Beberapa pernyataan di ruang publik yang mengatakan rendahnya partisipasi pemilih membuat hasil Pilkada 2024 tidak punya legitimasi, sehingga pemilu wajib ditolak dan dilakukan Pemilihan Suara Ulang, merupakan upaya penyangkalan realitas politik.

BACA JUGA: Ruang IGD RSUD Undata Palu Yang Dibangun Mulai Buka Pelayanan Dalam Waktu Dekat

Bacaan Lainnya

Penggiringan opini publik itu tidak punya alasan yang kuat, justru melemahkan demokrasi yang sedang kita perbaiki jalannya.

Demikian pernyataan inisiator Samrat Berani Eva Bande, kepada awak media ini.

Ia sampaikan, warga yang berhalangan hadir ke TPS, atau mereka yang secara sadar tidak ingin menggunakan hak pilihnya, tidak bisa serta merta diarahkan kepada KPU sebagai penyebabnya.

Tidak ada satu pun unit pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, yudikatif, yang dapat menjalankan tugas fungsinya secara sempurna.

Sudah pasti ada kekurangan, dan kekurangan itu masih dapat di toleransi. Keadaan ini harus dibaca sebagai realitas politik atau fakta perwujudan demokrasi kita.

Justru dalam Pilgub baru-baru ini, terlihat ada progres yang baik bila dibandingkan dengan partisipasi periode Pilkada sebelumnya.

Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi masyarakat mencapai 67 persen, Pilkada 2020 naik menjadi 70,9 persen (Antara-news 17 Desember 2020, bisa dicek sumber berita lainnya), dan pada Pilkada 2024, partisipasi meningkat lagi menjadi 72,6 persen.

Progres yang lain, kalau kita berpikir dengan jernih, kekuatan politik yang didominasi oleh Parpol yang gemuk, anggaran yang sangat besar, tim sukses dan relawan yang banyak, tidak menjadi jaminan menjadi pemenang Pilgub Sulteng Khususnya.

Maka kita tidak saja fokus pada hasil, tetapi juga melihat proses. Mulai dari upaya-upaya perebutan Parpol, lahirnya MK, pada saat sosialisasi, kampanye, dan hari pencoblosan.

Ketika hasilnya keluar, lalu pihak-pihak yang “kalah” mencari jalur “tak lazim” untuk rebut kemenangan, lantas kita melupakan proses yang dilalui sebelumnya.

Jadi, kalau angka partisipasi sekarang dijadikan alasan untuk delegitimasi, tidak masuk akal, dan cenderung dipaksakan. Sebab, realitasnya angka partisipasi justru menunjukkan trend peningkatan.

Bila hendak memperbaiki penyakit demokrasi, maka cari sumbernya, janganlah seperti pepatah lama “membasmi tikus di lumbung padi dengan membakar lumbung padinya, bukan memberi racun pada tikusnya.”

PSU yang dipaksakan tanpa alas legitimasi, logika, dan analisis politik yang tepat pada akhirnya inkonstitusional. Memaksakannya dengan kekuatan massa, justru akan lebih buruk lagi konsekuensi dan risikonya, karena akan mengundang berbagai dampak yang berujung pada instabilitas sosial politik dan konflik antar pendukung.

Kita sedang dalam fase transisi berdemokrasi sehingga perlu banyak perbaikan, agar demokrasi kita semakin maju dan matang.

Semua elemen masyarakat punya tugas dan tanggung jawab untuk memperbaiki proses Pemilu-Pilkada, bukan hanya terbatas pada orang-orang tertentu dan Partai Politik yang berkontestasi saja.(***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *