PALU, FILESULAWESI.COM – Aktivitas PT Tamaco Graha Krida di Kabupaten Morowali, mendapatkan atensi besar dari Masyarakat Sipil, terkhusus Eva Bande, Pejuang Perempuan Agraria.
BACA JUGA: Miliki Sejumlah Manfaat: Warga Kota Palu Segera Download Aplikasi KTP Digital
Eva Bande, menyoroti praktek bisnis oleh PT Tamaco yang hingga saat ini beroperasi dengan dugaan kuat mengantongi izin yang telah berakhir, atau bisa disebutkan bahwa beroperasi secara ilegal.
Diketahui bahwa, PT. Tomaco Graha Krida (TGK) di Kecamatan Witaponda, Bungku Tengah dan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, merupakan perusahaan pertama dan tertua berinvestasi di perkebunan sawit di Sulawesi Tengah.
“Praktek-praktek semacam yang dilakukan oleh PT Tamaco ini merupakan bukti konkrit ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalankan praktik bisnisnya, dengan regulasi saja mereka tidak patuh apalagi dengan hak-hak rakyat,” tegas Aktivis Agararia Sulawesi Tengah.
Bahwa juga PT Tamaco Graha Krida mengantongi izin yang telah berakhir pada Desember 2024 lalu, dan sampai saat ini belum mengantongi izin pembaharuan atau perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU).
Eva menyebutkan, jika kita merujuk pada Pasal 2 Permen ATR/Ka. BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah yang berbunyi: Menteri dapat melimpahkan kewenangan Pemberian Hak Secara individual atau Pemberian Hak Secara Kolektif kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang di tunjuk.
Berdasarkan Pasal 74 ayat (2) Permen ATR/Ka. BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah menyatakan bahwa tahapan dalam perpanjangan HGU dilakukan dengan pemeriksaan tanah oleh panitia pemeriksaan tanah B atau Panitia B, namun terjadinya perubahan kondisi di lapangan baik fisik maupun tata batasnya, sehingga dilanjutkan dengan dilakukan pengukuran ulang.
Disebutkan dalam peraturan tersebut, bahwa pemeriksaan tanah dilakukan terlebih dahulu oleh Panitia B. Sehingga tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses ini, kemudian patut diduga bahwa tendensi yang dilakukan oleh perusahaan ke pemerintah sangat kuat dan mencoreng asas kebijakan serta partisipasi publik.
Sebelumnya juga, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng) menyatakan, pemerintah pusat telah mencabut izin usaha empat perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan di provinsi itu.
Misal di Kabupaten Morowali terdapat PT Kawisan Sentral Asia dengan luas lahan 3.444 hektare dan PT Tamako Graha Krida dengan luas lahan 7.895 hektare.
Dua perusahaan ini bergerak pada sektor perkebunan sawit terletak di Kabupaten Morowali yang kemudian masuk dalam daftar izin yang dicabut oleh pemerintah sesuai KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 TENTANG PENCABUTAN IZIN KONSESI KAWASAN HUTAN
Dalam perjalanannya juga, PT Tamaco tak luput dari mengabaikan aspek patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Misalnya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan mencantumkan pembangunan kebun rakyat wajib dijalankan perusahaan perkebunan swasta maupun BUMN sesuai.
Dipertegas, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 (dua ratus lima puluh) hektar atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20 persen dari luas areal IUP-B atau IUP. Dalam praktiknya PT Tamaco tidak patuh dan mengabaikan aspek kewajibannya memfasilitasi 20 persen kebun rakyat.
Padahal jika ditelisik lebih dalam, produsen minyak sawit dan perusahaan multinasional dalam industri sawit bersepakat, mengadopsi mekanisme yang menjamin minyak sawit yang diproduksi telah memiliki standar keberlanjutan.
Jaminan standar tersebut berupa sertifikasi meliputi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sertifikasi tersebut menjadi syarat utama produsen minyak sawit dapat bertransaksi dalam rantai pasok industri sawit global. Di antara dari unsur keberlanjutan dalam sertifikasi RSPO adalah pengentasan kemiskinan dan terjaminnya mata pencaharian yang layak.
Sehingga sangat disayangkan dimana PT Tamaco yang masuk dalam daftar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), melakukan praktik bisnisnya tidak sesuai standar yang telah ia kantongi.
“Kami meminta untuk pemerintah lebih serius menindaki praktik bisnis semacam ini yang sama sekali tidak bekelanjutan malah kemudian melakukan praktik pemiskinan secara masif dan tersturuktur,” tutupnya.(***)